Beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin al-Husin Abu Muhammad al-Jariri. Beliau adalah salah seorang pembesar di antara para sahabat Syaikh Junaid al-Baghdadi. Setelah Syaikh Junaid wafat, orang-orang mendaulat beliau untuk menggantikan kedudukannya di dalam memberikan tausiah dan mengisi pengajian. Beliau bersahabat dengan Syaikh Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari. Beliau wafat pada tahun 312 Hijriah.
Beliau adalah seorang sufi yang senang menempuh berbagai macam riyadhah yang berat. Tunduk terhadap ketentuan-ketentuan Tuhan semesta alam. Menjaga hikmah agar tidak disampaikan kepada orang yang tidak pantas untuk menerimanya. Bersikap tegas terhadap siapa pun yang mengaku-ngaku bahwa dirinya memiliki hikmah.
Menempuh lorong-lorong rohani yang berat itu seperti senantiasa berjaga sepanjang malam di dalam berkomunikasi dan berkonsentrasi terhadap Allah Ta’ala, senantiasa berpuasa sepanjang siang demi menjaga kesucian hatinya, dan lain sebagainya.
Hal itu ditekuni oleh beliau demi mendapatkan perolehan yang berarti di jalan rohani. Karena di dalam menempuh suluk, seseorang tidak cukup hanya dengan mengandalkan adanya pengharapan demi pengharapan yang dijulangkan kepada Tuhan semesta alam, tapi juga mesti dibarengi dengan kesungguhan demi kesungguhan yang berlandaskan keikhlasan.
Tunduk terhadap ketentuan-ketentuan hadirat-Nya semata untuk merealisasikan wujud keberpihakan yang paling penghabisan yang tidak menyisakan sedikit pun adanya hasrat yang kelam terhadap kekerdilan diri sendiri. Dan sikap tunduk itu telah terbukti dijadikan sarana oleh Allah Ta’ala untuk mengangkat beliau ke langit kemuliaan dan keagungan.
Beliau juga dikaruniai berbagai kebaikan yang melimpah oleh hadirat-Nya melalui pintu hikmah: sebuah pintu kemuliaan yang berupa perpaduan yang solid antara perkataan-perkataan yang benar dan lembut, tindakan-tindakan yang sangat presesif, dan momentum yang pas. Tentu saja dengan demikian beliau dikenal sebagai seorang sufi yang bijak-bestari.
Pada suatu hari, ada seorang laki-laki yang datang dan berkeluh-kesah kepada beliau. Kata si lelaki itu: “Aku pernah mengalami kegembiraan. Jiwa dan pikiranku luas terbentang. Lalu orang-orang membuka pintu-pintu kemurahan hati untukku. Kemudian aku tergelincir sehingga aku jadi terhijab dari kedudukan rohaniku semula. Tolong dong, tunjukkan kepadaku cara untuk mendapatkan kembali kedudukan rohaniku yang hilang.”
Mendengarkan keluh-kesah itu, Syaikh Abu Muhammad al-Jariri lalu menangis. Beliau berkata kepada si lelaki itu: “Saudaraku, nyaris setiap salik pernah diuji dengan adanya bencana seperti itu. Tolong dengarkan baik-baik ya. Aku akan membacakan beberapa baris puisi:
‘Berdirilah di atas reruntuhan rumah-rumah itu. Itu adalah jejak-jejak mereka. Kau boleh menangisi para kekasih. Baik karena rindu maupun lantaran pedih. Betapa sering aku berdiri di situ. Bertanya-tanya tentang para penghuninya. Siapa tahu ada kabar tentang mereka.
Sang pemandu cinta lalu memberi jawab: perpisahanmu dari orang yang kau cinta akan menjadikan perjumpaanmu dengannya sedemikian mulia dan berharga’.”
Artinya adalah bahwa dengan didera perpisahan itulah seseorang akan merasakan tentang betapa sakit sekaligus betapa nikmatnya kerinduan. Dia juga akan merasakan tentang betapa sangat agungnya nilai dari sebuah perjumpaan. Apalagi perjumpaan itu terjadi antara seorang salik dengan Tuhannya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Hasan al-Hamadzani - 13 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #3 - 6 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #2 - 29 November 2024