Syaikh Abu Sa’id al-A’rabi

Beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Ziyad bin al-A’rabi Abu Sa’id. Berasal dari Bashrah, Iraq. Tinggal di Makkah. Beliau dikenal sebagai orang yang sangat alim dan faqih. Memiliki banyak karya yang dibutuhkan oleh umat. Beliau bersahabat dengan Syaikh Junaid al-Baghdadi, Syaikh ‘Amr bin ‘Utsman, Syaikh Abu al-Hasan an-Nuri, Syaikh Hasan al-Musuhi, Syaikh Abu Ja’far al-Haffar, dan lain sebagainya. Beliau wafat pada tahun 341 Hijriah.

Di zamannya, beliau adalah seorang sufi yang begitu terkenal di Tanah Haram Makkah sana. Di dalam salah satu karyanya tentang ketauhidan, dengan tegas beliau menyatakan bahwa tidak ada posisi dekat antara seseorang dengan Allah Ta’ala kecuali di antara keduanya pasti ada jarak.

Adanya dualitas itu bisa dipahami secara rasional. Akan tetapi jelas bagi kita bahwa yang satu pastilah ingin melipat jarak tersebut sehingga adanya demarkasi yang membentang di antara keduanya menjadi kalis dan sirna. Hal itu dapat dipastikan dialami oleh para salik pada tahap-tahap awal kepergian mereka menuju kepada hadiratNya.

Andaikan kita yang mengalami hal seperti itu, tentu kita tidak perlu risau. Sebab, dalam sebuah hadis sudah dijelaskan bahwa seandainya kita mendekat kepada Allah Ta’ala satu depa, Dia akan mendekat kepada kita satu hasta. Dan jika kita mendekat kepada hadiratNya satu hasta, Dia akan mendekat kepada kita satu jengkal. Jika kita datang kepada Allah Ta’ala dengan berjalan, maka Dia akan menyongsong kita dengan berlari.

Bahkan di balik seluruh perbuatan baik yang kita kerjakan, hanya Allah Ta’ala satu-satunya yang ada. Itulah sebabnya bisa diungkapkan bahwa seluruh perbuatan baik itu hakikatnya tidak lain adalah milik hadiratNya belaka. Sama sekali bukanlah milik siapa pun yang lain, juga bukan milik kita.

Sampai di sini, betapa pentingnya kita merasa terbebas dari setitik debu kekuatan untuk mengerjakan kebaikan dan terhindar dari setitik debu kekuatan untuk membebaskan diri dari keburukan. Al-haul wa al-quwwah itu bukanlah merupakan pakaian milik kita yang bisa kita kenakan kapan saja kita mau. Sama sekali tidak.

Dengan dibekingi oleh Allah Ta’ala, orang-orang makrifat menjadi sangat mudah untuk membebaskan diri dari pukauan-pukauan duniawi, juga menjadi amat mudah untuk berdiam diri kekal di sorga. Seandainya dikatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya mereka akan kekal di dunia, niscaya mereka akan mati karenanya.

Itulah apa yang dialami oleh sang sufi. Ilmu tasawuf yang dimiliki oleh beliau menuntunnya pada padang kenyataan demi kenyataan rohani sehingga dengan perlahan tapi pasti juga membawa beliau pada tingkatan spiritual yang memang didambakan. Tentu saja tingkatan rohani itu semakin hari semakin tinggi.

Itulah ilmu para rasul, ilmu para nabi, ilmu para wali. Itulah apa yang disebut sebagai ilmu dzauq atau ilmu rasa. Sama sekali bukan ilmu konsep atau ilmu teori saja. Agar ilmu kita juga menjadi ilmu rasa, kita mesti menundukkan nafsu kita agar tulus melaksanakan ajaran-ajaran agama, agar setia dan patuh kepada Allah Ta’ala.

Ketika keseluruhan diri kita menjalani orkestrasi kepatuhan kepada hadiratNya, sungguh betapa lezatnya ilmu yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepada kita. Lebih lezat dibandingkan kenikmatan apa pun yang lain, menempati posisi yang tertinggi. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!