Saya tidak tahu persis di mana dan kapan beliau lahir sebagaimana saya juga tidak tahu di mana dan kapan beliau wafat. Tapi jelas bahwa beliau ini sezaman dengan Syaikh Abu ‘Utsman al-Maghribi yang wafat pada tahun 373 Hijriah di Nisapur. Hal ini ditunjukkan oleh adanya beberapa kesaksian dari Syaikh Abu ‘Utsman terhadap sejumlah keunggulan spiritual yang melekat pada diri Syaikh Abu Thalib al-Ikhmimi.
Kesaksian yang pertama adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikh Abu ‘Utsman bahwa beliau pernah menyaksikan Syaikh Abu Thalib berbincang-bincang dengan kawanan burung. Seketika, hal ini bisa langsung menerbangkan kita pada salah satu mukjizat yang dimiliki oleh Nabi Sulaiman as. sebagaimana yang telah dituturkan di dalam Qur’an.
Karamah yang berupa kesanggupan berbicara dengan burung-burung adalah bukti konkret tentang kemampuan beliau menerobos batas-batas bahasa. Tidak saja batas-batas bahasa yang sangat banyak yang digunakan oleh manusia, tapi juga batas bahasa yang menjadi sekat antara mereka dengan makhluk yang lain dari kalangan binatang.
Kemampuan menerobos batas-batas bahasa itu juga mengindikasikan bahwa sang sufi itu telah dianugerahi kekuatan luar biasa untuk sampai kepada asal-usul segala bahasa apa pun yang dengannya seluruh makhluk bisa berkomunikasi dengan sesama. Dan, asal-usul dari segala bahasa itu tidak lain adalah Allah Ta’ala itu sendiri.
Itu artinya adalah bahwa sang sufi itu telah sanggup “bersentuhan” dengan hadiratNya pada setiap kali menyaksikan berbagai serpihan emanasi yang tidak lain adalah realitas seluruh makhluk. Bahkan, di penglihatan batinnya, Allah Ta’ala itu jauh lebih nyata dibandingkan dengan berbagai emanasi yang tidak bertepi itu.
Kesaksian yang kedua dari Syaikh Abu ‘Utsman adalah di saat beliau menemani Syaikh Abu Thalib al-Ikhmimi di dalam sebuah perjalanan. Di tengah perjalanan, mereka berdua bertemu dengan kawanan binatang buas. Sontak, Syaikh Abu ‘Utsman langsung dicekam oleh perasaan takut yang luar biasa. Sementara Syaikh Abu Thalib sama sekali tidak dihinggapi oleh rasa takut sedikit pun.
“Aku harus pergi dari tempat ini secepat mungkin,” kata Syaikh Abu ‘Utsman. Syaikh Abu Thalib langsung merespons. Beliau bangkit, lalu tiduran dengan sangat tenang, tidak mencerminkan gurat ketakutan sama sekali. Sedangkan Syaikh Abu ‘Utsman kebalikannya: betul-betul dirundung rasa takut.
“Kenapa kau tidak tidur saja?” tanya Syaikh Abu Thalib. “Aku tidak bisa tidur, sangat takut pada binatang-binatang buas itu,” jawabnya sambil gemetar. “Ketahuilah bahwa orang yang takut pada Allah Ta’ala, maka dia tidak akan takut kepada apa pun. Kalau kau takut pada binatang-binatang buas, jangan berkawan dengan aku lagi.” Pada saat itu juga Syaikh Abu ‘Utsman pergi meninggalkan Syaikh Abu Thalib al-Ikhmimi.
Sungguh beliau telah sampai kepada tingkat ketauhidan yang paling puncak. Bagaimana mungkin tidak. Seluruh urat saraf rasa takut sang sufi kepada segala sesuatu selain hadiratNya telah sepenuhnya putus, telah sepenuhnya sirna. Beliau pastilah sudah sangat gamblang menyaksikan dengan ketajaman penglihatan batinnya bahwa yang benar-benar bisa memberikan manfaat dan mudarat itu hanyalah Allah Ta’ala, tidak mungkin ada yang lain.
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025
- Syaikh Abu al-Husin as-Sarki - 27 December 2024
Imron
Ini libur sampai kapan rubrik lainnya ini??