Syaikh Abu Thalib Khazraj bin ‘Ali #2

Dalam sebuah perspektif yang diajukan oleh Syaikh al-Islam terhadap suatu peristiwa yang dialami oleh Syaikh Abu Thalib Khazraj bin ‘Ali yang mengatakan “La’anakaLlah” kepada Syaikh Syirazi dan terdengar oleh beliau seperti ungkapan “RahimakaLlah”, Syaikh al-Islam menyatakan bahwa seorang murid yang tidak sanggup menanggung penderitaan dari guru rohaninya,

Tidak sabar terhadap kekerasan yang dilakukan oleh guru rohaninya, tidak sanggup mendengarkan “La’anakaLlah” menjadi “RahimakaLlah”, dan tidak ada rasa sakit dan cerita yang ditimbulkan oleh guru rohaninya itu, maka dia tidak akan beruntung. Seorang lelaki tanpa guru rohani laksana seseorang yang tidak mempunyai seorang bapak.

Betapa sangat menguntungkan model guru rohani yang seperti itu. Terutama bagi murid-murid beliau yang dengan penuh khidmat mengabdikan hidupnya terhadap beliau dengan penuh cinta dan ketulusan. Guru rohani semacam beliau tidak mengantarkan siapa pun dari kalangan murid-murid beliau kecuali pada kedudukan yang sangat istimewa di hadapan hadiratNya.

Bahkan di hadapan sang murid, ungkapan beliau yang sarat dengan laknat, “La’anakaLlah”, terdengar menjadi “RahimakaLlah.” “Semoga Allah Ta’ala melaknatmu” berubah menjadi doa permohonan agar rahmat hadiratNya “senantiasa diberikan kepadamu.” Betapa sangat beruntung menjadi murid dari semacam guru rohani seperti beliau.

Pada suatu hari, Syaikh Abu Thalib bersama dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Muzayyin ketika mengajak umat kepada Allah Ta’ala. Pada saat itu, ada beberapa orang yang mengantarkan daging panggang kepada beliau. Sementara Syaikh Abu Thalib sudah kadung berjanji untuk akan makan daging panggang. Dan janji itu dipegang teguh dari awal.

Kemudian Syaikh Abu al-Hasan al-Muzayyin berkata kepada beliau: “Makanlah tanpa engkau.” Beliau kemudian mengira bahwa begitulah kondisi rohani yang sedang beliau alami. Beliau makan satu suap. Beliau menyangka bahwa imannya telah keluar bersama makan satu suap daging panggang itu.

Dari mulai hari tersebut sampai menjelang wafat beliau, tidak pernah beliau mencicipi daging panggang lagi. Juga senantiasa merasa bersalah karenanya. Beliau merasa senantiasa dalam pertobatan semenjak peristiwa satu suap daging panggang itu. Penyesalan beliau, sungguh, bertakhta di atas segalanya.

Satu wujud kesalahan telah memperanakkan penyesalan demi penyesalan, telah memperanakkan pertobatan demi pertobatan. Dengan demikian, suatu dosa telah melahirkan keberuntungan demi keberuntungan bagi dirinya. Kalau tanpa pertolongan hadiratNya, suatu dosa tentu akan memperanakkan dosa-dosa yang lain yang semakin hari akan semakin besar.

Di kalangan orang-orang kebanyakan, dosa-dosa sering kali melahirkan dosa-dosa yang lain. Sehingga semakin lama seseorang semakin tertimbun oleh dosa-dosanya sendiri. Dan semakin tertimbun, seseorang menjadi semakin sulit untuk bisa keluar dari jebakan dosa-dosa. Semakin tidak berdaya dia dihimpit oleh dosa-dosa.

Sementara di kalangan para sufi, dosa sering kali menjadi sarana bagi keberuntungan seseorang dari kalangan mereka. Untuk menjadi tidak berdosa sama sekali, itu tidak mungkin bagi mereka. Karena mereka jelas bukan bangsa nabi. Tapi dosa mereka yang melahirkan keberuntungan, jelas itu merupakan karunia rohani dari Allah Ta’ala. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!