Nama beliau adalah persis sebagaimana judul di atas. Saya tidak mengetahui tambahannya satu kata pun. Saya juga tidak menemukan data yang mencatat tentang tahun kelahiran dan wafatnya. Demikian pula saya tidak mendapatkan keterangan yang menyebut tempat kelahiran dan wafatnya. Tapi satu hal jelas bahwa Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang dikenal dengan sebutan Syaikh al-Islam yang lahir pada tahun 1006 dan wafat di Herat, Afghanistan, pada 1088 Masehi, pernah menyaksikan dan menjumpai beliau.
Syaikh al-Islam bertutur tentang sang sufi sebagaimana berikut ini: “Aku pernah melihat Syaikh Abu Ya’qub al-Kurati. Beliau adalah seorang lelaki yang penuh cahaya Ilahi. Betul-betul menguasai waktu yang menyertainya secara rohani. Beliau juga dianugerahi sejumlah karamah oleh Allah Ta’ala.
Di tangan beliau, selalu ada sebilah kayu yang dibalut dengan sebuah handuk. Orang-orang yang menyaksikan beliau bertanya: ‘Permainan apa ini?’ Dengan enteng beliau menjawab: ‘Ini juga merupakan bagian dari aneka ragam jalan kepada Allah Ta’ala’.”
Apa yang dimaksud bahwa sang sufi merupakan seorang lelaki yang penuh dengan cahaya Ilahi? Idiom “lelaki” di dalam kamus tasawuf sama sekali tidak menunjuk kepada jenis kelamin. Tapi murni mengindikasikan adanya kemenangan akal dan roh terhadap segera gejolak nafsu ammarah, terhadap segala hal yang melenceng, bahkan terhadap segala hasrat yang tertuju kepada selain Allah Ta’ala.
Sama saja apakah kemenangan spiritual itu dialami oleh seseorang yang jenis kelaminnya lelaki maupun perempuan. Setiap kemenangan spiritual pastilah dialami seorang lelaki rohani secara hakiki. Sebagaimana yang telah dengan cemerlang dialami oleh seorang sufi perempuan dari Bashrah yang bernama Rabi’ah Adawiyah. Secara lahiriah, beliau adalah seorang sufi perempuan. Tapi secara batiniah, beliau mutlak seorang sufi lelaki.
Dan yang dimaksud dengan penuh cahaya Ilahi tidaklah menunjuk kepada penampilan yang serba glowing. Tapi mutlak tertuju kepada adanya sifat-sifat indah keilahian yang melekat pada dirinya. Seperti adanya pantulan kuat sifat belas kasih terhadap sesama dan penghambaan yang total dan penuh cinta terhadap hadirat-Nya.
Sedangkan yang disebut dengan menguasai waktu adalah bahwa tidak ada satu detik pun yang menggilas sang sufi dengan kesia-siaan. Seluruh waktu yang diarunginya mutlak bermakna penuh secara spiritual sebagai wujud totalitas penghambaan kepada Allah Ta’ala.
Sebagai implikasinya, beliau sering dipakai oleh hadirat-Nya untuk melakukan berbagai tindakan adikodrati yang di dalam kepustakaan spiritualitas Islam dikenal dengan sebutan karamah. Seperti melipat jarak yang semula mestinya ditempuh berhari-hari, tapi kemudian hanya membutuhkan waktu sekejap mata, dan lain sebagainya.
Dan termasuk yang terbilang aneh dari perilaku sang sufi adalah senantiasa memegang sebilah kayu yang dibalut dengan sebuah handuk. Orang-orang mengira bahwa hal itu merupakan pertunjukan yang sia-sia dan tidak bermakna sama sekali. Tapi tidak bagi beliau. Bagi sang sufi itu sendiri, hal itu merupakan seutas jalan rohani yang lempang terhadap hadirat-Nya.
Sungguh, bagi Allah Ta’ala, apa saja bisa dijadikan jalan yang menghubungkan siapa pun terhadap hadirat-Nya. Tak peduli, apakah hal itu merupakan sesuatu yang dikategorikan sebagai hal rasional atau tidak, pantas atau tidak. Apa pun yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala pasti jadi. Tidak mungkin tidak. Termasuk barang “mainan” yang menjadi kebanggaan sang sufi itu. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024
- Syaikh Musa al-Jirufti - 23 August 2024