Syaikh Abu Ya’qub al-Madzkuri

Saya betul-betul tidak mengetahui tentang data yang mencatat tentang tahun kelahiran dan wafat beliau. Demikian pula saya tidak menemukan data yang menyebut tentang tempat lahir dan wafat beliau. Pun, saya tidak mendapatkan informasi tentang nama lengkap beliau selain yang tertera sebagai judul di atas.

Beliau adalah pelaku tawakkal dalam pemahamannya yang paling ekstrem. Bagaimana mungkin tidak, di dalam bertawakkal beliau sama sekali tidak mendahuluinya dengan melakukan usaha-usaha terlebih dahulu. Tapi langsung menyerahkan seluruh nasib hidupnya kepada Allah Ta’ala dengan tanpa bekerja sedikit pun.

Itulah sebabnya, ketika orang-orang bertanya kepada beliau tentang definisi tawakkal, maka beliau menjawab sesuai dengan pengalamannya sendiri. Dirinya tak lain merupakan referensi bagi jawaban yang diberikan kepada mereka. “Tawakkal,” tutur beliau kepada para penanya itu, “adalah meninggalkan ikhtiar.”

Betapa sangat sublim pengalaman tawakkal yang telah diarungi oleh beliau. Hal itu menunjukkan adanya penglihatan batin beliau yang sangat tajam dan jeli terhadap berbagai peran Ilahi di dalam “melahirkan”, membesarkan, dan menjaga beliau. Sehingga beliau merasa perlu untuk tidak ikut serta sedikit pun di dalam memproses diri beliau sendiri.

Dengan kalimat lain bahwa tawakkal bagi beliau adalah membiarkan Tuhan sepenuhnya bekerja untuk seluruh keperluan dan hajat beliau sendiri. Bukankah Tuhan yang memang lebih tahu tentang apa yang betul-betul dibutuhkan oleh hamba-hamba-Nya?

Konsepsi tawakkal seperti yang diterapkan oleh sang sufi itu tentu saja tidak sejalan dengan konsepsi tawakkal yang dijalani oleh orang kebanyakan. Yakni, berikhtiar terlebih dahulu, baru kemudian hasilnya diserahkan kepada Allah Ta’ala.

Konsepsi tawakkal yang tidak lazim seperti itu diterapkan oleh sang sufi karena berbagai asbab telah gugur sepenuhnya di hadapan penglihatan beliau. Dan pada saat yang bersamaan, pandangan beliau hanya tertuju kepada Musabbib atau Tuhan yang telah menciptakan segala sebab bagi diperolehnya segala sesuatu yang diperlukan di dalam kehidupan beliau.

Di kalangan para sufi, apakah hanya beliau yang menjalankan model tawakkal yang ekstrem seperti itu? Ketika saya melacak berbagai referensi kitab-kitab tasawuf tentang tawakkal, ternyata pengalaman tentang tawakkal yang mirip dengan pengalaman beliau itu sangat banyak dan beraneka ragam.

Syaikh ‘Abdullah at-Tustari mengatakan bahwa tawakkal adalah meninggalkan manajemen untuk diri sendiri. Syaikh Bisyr al-Hafi menyatakan bahwa tawakkal adalah ridha. Syaikh Abu Hafsh al-Haddad menyebutkan bahwa tawakkal adalah merdeka dari merasa sanggup menolak mudarat dan mendatangkan manfaat. Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj menuturkan bahwa tawakkal adalah fokus menyaksikan Tuhan pencipta segala sebab. Dan lain sebagainya. Bahkan di dalam menjalani konsepsi tawakkal, para sufi itu memandang diri mereka tidak lain sebagai onggokan-onggokan ketiadaan. Karena itu, mereka sama sekali tidak pernah merasa ikut andil di dalam mencetuskan keberuntungan bagi diri mereka. Pun, mereka tidak pernah merasa ikut andil di dalam menolak mudarat untuk mereka. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Comments

  1. Kadir Reply

    Labelnya keliru, Min. hehe

    • Admin Reply

      iya. terima kasih banyak. sudah diperbaiki :)))

Leave a Reply to Kadir Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!