Beliau adalah Abu Zayd al-Marghazi al-Faqih al-Kharasani. Satu-satunya referensi yang saya ketahui dan memuat tentang nama beliau hanyalah Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami. Itu pun dengan keterangan yang sangat terbatas. Tidak lebih dari delapan baris.
Syaikhul Islam Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi menuturkan bahwa Syaikh Abu Zayd al-Kharasani ingin sekali untuk sampai di Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Setelah sampai di Kirman Syah, beliau berjumpa dengan Syaikh Ibrahim asy-Syaibani. Salah satu efeknya adalah tidak berangkat ke Makkah pada tahun itu.
Beliau tetap berada di Kirman Syah untuk “menemani” Syaikh Ibrahim asy-Syaibani. Tujuan beliau jelas. Yaitu, untuk memperbaiki kondisi dan substansi hatinya agar semakin fokus kepada Allah Ta’ala. Setelah dikira cukup, beliau berangkat ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji selama tiga kali berturut-turut.
Berarti beliau melaksanakan ibadah haji itu selama tiga tahun. Selama itu pula beliau senantiasa fokus kepada hadiratNya. Di tahun yang ketiga dari melaksanakan ibadah haji itulah beliau wafat. Di saat itu, hujan turun deras sekali dan lama. Sampai-sampai mereka tidak bisa mengeluarkan jenazahnya dari rumah yang beliau tempati.
Akhirnya mereka menguburkan beliau di rumah tersebut dalam keadaan telanjang. Tentu dengan niatan bahwa ketika hujan sudah reda, mereka akan memindahkan jenazah itu ke pekuburan yang semestinya. Beberapa waktu kemudian hujan reda. Mereka ingin memindahkan beliau. Setelah mereka membuka kuburnya, beliau tidak ada, sama sekali tidak ada.
Sungguh sangat mengherankan. Bagaimana mungkin bisa tidak ada beliau yang sesungguhnya “baru saja” dikubur di rumah tersebut? Dari mana datangnya karamah setelah kematian itu? Menurut Syaikhul Islam, kewalian yang disandang oleh beliau sama sekali tidaklah datang dari arah fikih, tapi mutlak dari adanya persahabatan dengan Syaikh Ibrahim asy-Syaibani.
Ketika seseorang mulai menekuni persahabatan dengan orang suci, sesungguhnya dia sedang mempersiapkan dirinya untuk meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermakna secara spiritual bagi kehidupannya di dunia ini dan di akhirat nanti. Dengan demikian, dia berarti sudah siap mengucap sayonara kepada segala yang muspra dan sia-sia di dalam hidupnya.
Kedekatan kita dengan orang suci tidak lain merupakan karunia yang tidak kepalang. Bukan karunia yang harus kita tunggu untuk datang kepada diri kita, tapi mutlak mesti kita songsong di dalam hidup ini. Itulah sebabnya kenapa Syaikh Abu Yazid al-Bisthami, di mana pun beliau berada, selalu mencari orang suci.
Karena jelas bahwa kedekatan kita dengan orang suci akan menjadikan diri kita tertulari kesucian itu seberapa pun kadar dan kualitasnya. Semakin lama dan intens hubungan kita dengannya, maka akan menjadi semakin kuat pula pengaruhnya terhadap diri kita. Hal itu tentu saja sangat bergantung kepada kesiapan kita di dalam mengelola kesucian itu.
Sebagaimana para sahabat Nabi Muhammad Saw, mereka adalah orang-orang yang lahir dan tumbuh di tengah kultur jahiliah yang sangat kelam. Tapi oleh pengaruh orang yang paling agung di dunia, Rasulullah Saw, mereka kemudian berubah menjadi bintang-bintang yang sangat gemerlap di dalam kehidupan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Husin al-Harawi - 17 January 2025
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025