Beliau adalah Muhammad bin Dawud ad-Dimasyqi. Berasal dari Daynuri. Tinggal di Syiria. Beliau termasuk bagian dari generasi Syaikh Abu ‘Ali ar-Rubadzari dan lain sebagainya. Bersahabat dengan Syaikh Ibn al-Jala’. Beliau juga merupakan salah seorang santri dari Syaikh az-Zaqqaq al-Kabir. Beliau juga pernah menyaksikan Syaikh Junaid al-Baghdadi. Umurnya begitu panjang hingga mencapai 120 tahun. Beliau wafat pada tahun 359 Hijriah.
Beliau termasuk salah seorang sufi yang menganut paham tajrid. Yakni, tidak mencari rezeki dengan kasab apa pun, tapi menjadikan dirinya dicari oleh rezeki dengan caranya sendiri. Beliau adalah seorang sufi yang agung dan paling bagus kondisi rohaninya dibandingkan sufi-sufi lain pada zamannya.
Syaikh Abubakar ad-Duqi pernah menyatakan sebagaimana dikutip oleh Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang populer dengan sebutan Syaikh al-Islam: “Aku telah sampai pada dua keberuntungan sekaligus; Pertama, aku adalah seorang tamu dari Syaikh as-Sami’ie. Kedua, waktu berjalan sangat bagus. Ada juga seorang pembaca yang tampan dan baik sekali bacaannya. Di antara keduanya tidak ada seorang ajnabi atau orang asing yang datang dari luar. Tapi tidak ada satu pun di antara kita yang merasa memperoleh cinta dan kondisi rohani yang sangat menjanjikan.
Syaikh as-Sami’ie kemudian memberikan respons terhadap kenyataan itu: ‘Waktu sangat bagus. Ada seorang pembaca yang sangat bagus. Dan di antara kita sama sekali tidak ada pertentangan. Lalu, kenapa terjadi keadaan jumud ini?’ Syaikh Abubakar ad-Duqi lalu memberikan komentar: ‘Waktu kita sekarang berada di atas langit.’
‘Hah, apa yang telah engkau katakan?’ ungkap Syaikh as-Sami’ie, heran, seolah sama sekali tidak percaya. Syaikh Abubakar ad-Duqi menimpali, memberikan penegasan sekali lagi: ‘Qur’an dibacakan bukan oleh kita. Kedua telingaku mendengarkan dengan saksama. Demikian pula kedua telingamu.
Dan di dalam tasawuf, sama sekali tidak pantas adanya aku dan engkau. Tidak boleh tidak sufi harus tunggal.’ Kondisi rohani dan cinta kemudian diperoleh secara bersamaan. Mereka merasakan hal itu. Semuanya. Mereka berteriak dan merobek baju. Dan tidak ada seorang pun kecuali merobek baju sebagai simbol pembebasan dari segala yang sempit dan menipu.
Perlu kita catat di sini bahwa pertama, menjadi seorang tamu tidak lain merupakan keberuntungan bagi siapa pun. Apakah tuan rumahnya itu orang yang punya atau tidak, sama saja adalah keberuntungan bagi sang tamu. Alasannya jelas dan pasti bahwa Nabi Muhammad Saw memerintahkan umatnya semua untuk memuliakan tamu.
Kedua, di dalam wacana dan perspektif agama Islam seorang tuan rumah dibebani kewajiban untuk memuliakan para tamu sesuai kemampuannya. Tidak boleh menjadikan mereka terlalaikan hanya karena si tuan rumah sedemikian berhasrat terhadap berbagai macam kemauannya sendiri.
Ketika kedua poin di atas itu sudah seperti menyatu, muncullah kemudian poin ketiga yang tidak lain merupakan keberadaan mereka semua di atas langit. Hal itu menunjukkan kepada kita semua bahwa posisi mereka di saat itu sangat tinggi, melampaui kebanyakan umat manusia yang terhambat oleh berbagai macam rintangan sehingga tidak sanggup menembus langit pertama saja. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Husin al-Harawi - 17 January 2025
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025