Beliau adalah ‘Ali bin Ahmad bin Muhammad Abubakar ath-Tharsusi al-Harami. Beliau adalah seorang sufi yang sepantaran dengan Syaikh as-Sirwani. Walaupun tidak pernah disebut di dalam Kitab Tarikhnya, beliau juga pernah bersama dengan Syaikh as-Sullami.
Wafat beliau sungguh sangat mengagumkan. Sebagaimana telah dikisahkan oleh Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang populer dengan sebutan Syaikh al-Islam yang beliau terima dari Syaikh ‘Abbas al-Faqir bahwa pada suatu waktu Syaikh Abubakar al-Harami menjadi seorang tamu di Makkah al-Mukarramah.
Sementara sang tuan rumah memiliki seorang perempuan yang pandai menyanyi dengan menyayat hati. Perempuan itu membacakan bait berikut ini: “Apa yang datang kepadamu tidak berasal dariku wahai sanak-saudara. Merekalah yang telah menjadikan sesuatu itu banyak dan sedikit.”
Mendengarkan bait itu dengan saksama, Syaikh Abubakar al-Harami lantas berdiri. Beliau menjerit sejadi-jadinya. Sedemikian kerasnya jeritan itu. Beliau dengan tegas lantas menyatakan: “Aku mencintai hadiratMu sama sekali bukan lantaran aku sanggup mencintaiMu.”
Persis setelah kalimat yang sangat sakral itu diucapkan, beliau secara otomatis lantas berpindah dari kehidupan yang fana dan centang-perenang ini menuju ke alam barzakh. Sebuah perpindahan yang betul-betul sangat indah. Sebuah migrasi yang dapat dipastikan diharapkan oleh banyak orang. Termasuk oleh diriku sendiri.
Apa yang ada di balik kalimat Syaikh Abubakar al-Harami itu? Menisbatkan setiap kebaikan yang dikerjakannya tidak kepada dirinya sendiri, tapi mutlak disandarkan kepada Allah Ta’ala. Karena beliau itu tahu, makrifat, bahwa hanya Dialah semata yang sesungguhnya bisa mengerjakan aneka ragam kebaikan walaupun secara lahiriah kebaikan itu muncul dari diri kita.
Ketika di antara kita ada yang jatuh cinta kepada Allah Ta’ala, siapakah sebenarnya yang sedang mencintai hadiratNya? Bukan siapa-siapa selain Dia sendiri. Kita yang senantiasa dipakai oleh Dia hanya bisa berterima kasih, bersyukur. Tapi sebenarnya syukur itu milik siapa? Sebentar dulu.
Pada awalnya dulu, dulunya dulu, dulu sekali, sebelum segala sesuatu diciptakan, kita semua ini mutlak tiada, tidak ada sama sekali. Jangankan sebagai wujud, sebagai sebutan saja kita tidak ada, secara murni atau secara mutlak. Hanya Allah Ta’ala satu-satunya yang ada.
Allah Ta’ala yang mutlak ada dan tidak didahului oleh ketiadaan, Dialah semata yang memiliki kebaikan demi kebaikan itu. Jadi, mana sesungguhnya yang lebih tua antara kita dengan kebaikan demi kebaikan itu? Sudah dapat dipastikan bahwa kita semua lahir dari kebaikan-kebaikan tersebut, bukan dari apa pun yang lain.
Hidup ini dengan segala variasi tidak “terhingga” di dalamnya, dengan demikian, sesungguhnya merupakan karnaval tidak terbatas keilahian. Kita hanya bisa terngungun-ngungun menyanjung Sang Sutradara paling maha yang menggarap hidup ini murni sendirian. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Husin al-Harawi - 17 January 2025
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025