Beliau adalah persis sebagaimana judul di atas. Tidak lebih dan tidak kurang. Di dalam kitab-kitab thabaqat yang ada dalam kepustakaan saya pribadi, saya bahkan tidak menemukan nama beliau. Satu-satunya kitab yang mencantumkan nama beliau di dalamnya adalah Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami.
Satu-satunya riwayat tentang beliau adalah apa yang diceritakan oleh Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif bahwa selama tiga puluh tahun beliau senantiasa berpuasa. Terus menerus dengan tanpa jeda. Ketika datang waktu naza’ karena sakaratul maut, orang-orang yang membasahkan kapas. Lalu, ditaruhlah kapas tersebut di mulutnya. Beliau melepeh kapas itu. Setelah itu, beliau wafat dalam keadaan berpuasa.
Kemungkinan sangat banyak peristiwa-peristiwa penting secara spiritual yang berkaitan dengan Syaikh Abubakar al-Iskaf itu. Akan tetapi yang didedahkan oleh Kitab Nafahat cuma cerita itu saja. Selebihnya tidak ada. Mungkin memang begitu. Mungkin juga karena sengaja “disembunyikan” oleh seseorang demi “kemuliaannya.”
Terlepas dari hal itu, pelajaran apakah yang bisa kita ambil dari sepotong cerita hidupnya itu? Di zaman seperti sekarang di mana orang-orang berlomba-lomba untuk senantiasa memenuhi kepuasan lahiriah masing-masing, sungguh menahan diri dari apa pun dengan cara berpuasa merupakan hal yang begitu langka.
Apalagi sampai tiga puluh tahun terus menerus dengan tanpa jeda sehari atau dua hari sekali pun. Jelas hal itu merupakan sesuatu yang sangat berat bagi diri kita. Tapi bagi seseorang sebagaimana beliau yang mungkin telah sedemikian akrab dengan puasa, tiga puluh tahun berpuasa adalah kenikmatan yang luar biasa.
Dalam sebuah pemahaman sufisme, utamanya yang digelindingkan oleh Syaikh Muhyiddin ibn ‘Arabi (1165–1240 M), berpuasa adalah cara paling efektif untuk mendekati “watak” Allah Ta’ala yang memang berpuasa dari segala sesuatu. Tidak saja dari makan dan minum, tapi juga dari apa pun yang bisa membatalkan ketuhanan hadiratNya.
Kesadaran beliau adalah kesadaran yang penuh. Bahkan menjelang wafat sekalipun, ketika seutas kapas dibasahi dan diletakkan di bibirnya, beliau masih bisa “mengenalinya”, dan dengan segera kemudian beliau melepehnya. Sungguh, merupakan kematian yang sangat terhormat.
Tidak tanggung-tanggung. Beliau berpuasa hingga disongsong oleh kematiannya sendiri. Hal tersebut mengingatkan saya kepada salah satu sahabat Nabi Muhammad Saw, Sayyidina ‘Utsman bin ‘Affan. Pada saat dieksekusi oleh sebagian umatnya ketika sedang membaca Qur’an, beliau juga sesungguhnya dalam kondisi berpuasa.
Di hari kematiannya itu, beliau bermimpi Rasulullah Saw yang mengajaknya berbuka bersama. Beliau mengiyakan ajakannya itu. Itulah sebabnya, ketika di luar rumahnya orang-orang yang mau membunuh beliau itu gaduh, beliau tidak mau pergi dari rumahnya, tetap beliau menekuni membaca Qur’an.
Demikian pula Syaikh Abubakar al-Iskaf, beliau berpuasa hingga ujung hidupnya. Beliau berbuka di alam kubur dengan mengonsumsi berbagai kenikmatan yang telah disediakan oleh Allah Ta’ala. Aneka hidangan yang ditolak untuk dikonsumsi oleh beliau di dunia, dilipatgandakan oleh hadiratNya di alam kubur. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah ar-Rudzbari - 20 September 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024