Beliau adalah Abubakar bin ‘Atha’ al-Juhfi. Tak lebih dari itu yang saya tahu tentang beliau. Di mana dan kapan beliau lahir, saya tidak menemukan datanya. Di mana dan kapan beliau wafat, saya juga tidak mendapatkan referensinya. Tapi bagi saya pribadi, sang sufi ini sangat penting untuk ditulis, terutama sebagai ikhtiar saya sendiri agar setidaknya bisa bersentuhan dengan spiritualis beliau. Syukur juga kalau bisa bermanfaat bagi orang lain.
Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang populer dengan sebutan Syaikh al-Islam pernah mengutip kalimat langsung dari Syaikh Abubakar al-Juhfi sebagaimana termaktub dalam Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami berkaitan dengan sejumput pengalaman rohani sang sufi kali ini.
“Pada suatu hari,” tutur Syaikh Abubakar al-Juhfi, “aku duduk di atas sebuah bukit pasir. Tiba-tiba aku melihat banjir datang menerjang. Banjir itu membawa sebuah perahu kecil yang mengangkut seorang lelaki di atasnya. Dan si lelaki di atas perahu itu berteriak dengan suara sangat lantang:
‘Labbaik. Allahumma labbaik. Labbaik wa sa’adaik. Lainibtalaita falathalama ‘afaita. Aku memenuhi panggilanMu. Ya Allah, aku memenuhi panggilanMu. Aku memenuhi panggilanMu. Demi jika Engkau telah menguji seseorang, Engkau sering kali menyelamatkan orang yang diuji itu’.
Banjir itu terus mengalir ke tanah-tanah rendah, membasahi dataran-dataran kering yang dilewatinya. Akhirnya bermuara ke laut lepas. Dan apa pun yang dilewati dan bisa dibawa pergi oleh banjir tersebut, semuanya disapu dan digilas ke lautan.”
Pelajaran rohani macam apa yang bisa kita raih dari adanya penuturan kisah tersebut? Pertama, ketahuilah bahwa berlangsungnya pertemuan rohani di antara dua orang atau lebih sesungguhnya secara substansial dilatarbelakangi oleh koneksi spiritual terlebih dahulu. Andaikan koneksi spiritual itu tidak ada, maka tidak mungkin pertemuan rohani tersebut akan berlangsung.
Antara Syaikh Abubakar al-Juhfi dengan orang misterius di atas perahu kecil yang dibawa oleh banjir itu pastilah terjalin koneksi spiritual terlebih dahulu jauh sebelum peristiwa duduk di atas bukit pasir dan datangnya banjir yang tergesa-gesa menuju ke lautan. Perjumpaan rohani yang empiris itu tidak lain merupakan kelanjutan dari koneksi spiritual yang telah terjadi sebelumnya. Entah hal itu disadari atau tidak oleh kedua salik tersebut.
Dari adanya pemahaman di atas, kita bisa menarik sebuah konklusi secara esensial bahwa betapa sangat penting kita menciptakan adanya keberlangsungan relasi spiritual antara kita dengan orang-orang saleh dari kalangan para wali dan sufi, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Hal itu akan semakin mengukuhkan sekaligus meneguhkan kuda-kuda rohani diri kita.
Kedua, betapa pentingnya kita mengikuti jejak ketangguhan rohani yang dimiliki oleh orang misterius di atas perahu yang dihanyut banjir itu. Kita tidak tahu orang itu siapa dan berasal dari mana. Tapi kita tidak bisa menghalangi diri kita untuk takjub terhadap kegagahan rohaninya.
Bayangkan, dia berada di atas perahu yang berlayar serampangan karena didorong oleh banjir yang gila, tapi dengan teguh dia tetap memenuhi panggilan Tuhannya dengan penuh kesungguhan dan kesetiaan. Sungguh hal itu merupakan suatu pemandangan rohani yang sangat indah, sedemikian bermutu dan terlampau sia-sia kalau tidak dijadikan bahan pelajaran spiritual. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah ar-Rudzbari - 20 September 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024