Syaikh Abubakar al-Kafsyiri

Beliau adalah sebagaimana judul di atas, persis, tidak bertambah dan tidak berkurang. Setidaknya sesuai dengan data yang saya dapatkan. Karena selain di dalam Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami, saya tidak menemukan keterangan apa pun tentang beliau.

Kata-kata “Kafsyir” yang kemudian disematkan pada namanya di bagian belakang, sesungguhnya merupakan salah satu nama desa yang ada di Syiria. Hal itu memastikan kepada kita semua bahwa beliau tidak lain merupakan seorang sufi yang mutlak berasal dari Syiria. Tak dari tempat mana pun yang lain.

Pada suatu hari, Syaikh Abubakar al-Kafsyiri sedang menempuh perjalanan panjang di tengah padang pasir Bani Israel. Di saat itu, tiba-tiba muncul di dalam diri beliau keinginan terhadap roti dan buncis. Maka dengan segera beliau mendengar suara pedagang buncis yang membawa dagangannya ke sisi beliau.

Betapa sangat mengagumkan. Adanya keinginan yang bersemayam di kesunyian batinnya yang terdalam, dengan sesegera mungkin Allah Ta’ala menanggapi lewat cara mengirimkan langsung adanya penjual buncis yang mendekat kepada beliau dari sebuah arah yang beliau sendiri sama sekali tidak paham.

Berbahagiakah beliau dengan mendapatkan secara langsung adanya “pemberian” seperti itu? Atau sedihkah beliau karenanya? Sama sekali tidak. Tidak bahagia sekaligus tidak menjadi sedih oleh adanya “pemberian” itu. Hal itu merupakan indikasi yang sangat konkret bahwa Allah Ta’ala betul-betul amat sangat berkuasa pada segala sesuatu.

Sementara pada dimensi yang lain, hal itu juga menunjukkan bahwa sesungguhnya gunung rohani yang bersemayam di dalam diri Syaikh Abubakar al-Kafsyiri betul-betul sangat kukuh sekaligus kuat. Di samping “sanggup” mendatangkan karunia tersebut, beliau juga tidak terserimpung oleh kehadirannya.

Betapa banyak di dalam hidup ini orang yang tidak memiliki kesanggupan untuk menerima datangnya rezeki. Ketika rezeki-rezeki itu datang, mereka tak mempunyai kesiapan yang semestinya. Sehingga mereka bukan malah menjadi semakin lebih baik, justru menjadi amburadul lantaran berbagai macam rezeki itu.

Itulah sebabnya kenapa di dalam hidup ini banyak permohonan kita yang tidak kunjung menjadi kenyataan. Bukan apa-apa. Hal itu mutlak merupakan wujud belas-kasih Allah Ta’ala kepada kita. Seandainya permohonan-permohonan itu direalisasikan oleh hadiratNya, tentu akan lebih merupakan malapetaka bagi kita dibandingkan tetap sebagai karunia.

Karena itu, wajib bagi kita untuk membangun kesiapan rohani terlebih dahulu sebelum kita menerima apa yang kita minta lewat doa-doa kita. Dan ketika kesiapan tersebut sudah betul-betul siaga, itulah yang oleh Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi disebut sebagai paling hebat dan ampuhnya doa. Betapa sangat mengasyikkan. Bukan karena doa itu mudah diijabahi oleh Allah Ta’ala, tapi mutlak karena adanya “kesamaan” frekuensi antara yang berdoa dengan Tuhan semesta alam yang berhak mengabulkan doa itu. Dalam konteks ini, serasa Tuhan itu berdoa kepada diriNya sendiri. Bagaimana mungkin tak dikabulkan. Wallahu a’lamu bish-Shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!