Beliau adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ja’far al-Kattani. Termasuk salah seorang sufi yang merupakan sahabat Syaikh Junaid al-Baghdadi. Selama beberapa tahun beliau bermukim di Makkah dan wafat di sana pada tahun 322 Hijriah.
Pada masanya, beliau merupakan pelita rohani Tanah Haram Makkah. Julukan megah seperti itu, tentu saja bukanlah merupakan sebuah sebutan omong kosong belaka. Tapi murni merupakan representasi dari kredibilitas rohani yang memang sangat cemerlang pada diri beliau.
Salah satu wujud konkret dari keistimewaan spiritual yang disandang oleh beliau adalah kedekatan persahabatan beliau dengan Nabi Khidhir. Tentu saja hal itu merupakan petunjuk yang kuat terhadap adanya relasi rohani yang begitu “intim” di antara keduanya.
Sang sufi sendiri berkisah tentang awal perkenalannya dengan Nabi Lautan tersebut. “Pada suatu hari,” tutur beliau, “Nabi Khidhir berada di salah satu masjid di Shan’a, Yaman. Waktu itu saya masih seorang pemuda. Duduk di dekat tiang masjid sembari menundukkan kepala.
Nabi Khidhir mendekat kepada saya dan berkata: ‘Orang-orang pada membaca hadis di sisi Syaikh ‘Abdurrazzaq, sementara kau menyendiri di sini. Kenapa kau tidak ikut membaca hadis juga di sana, di sisi Syaikh ‘Abdurrazzaq?’
Saya merespons beliau: ‘Saya di sini menyimak firman Tuhan Yang Maha Pemberi rezeki (ar-Razzaq), sementara engkau menyuruhku untuk mendekat pada Syaikh ‘Abdurrazzaq.’ Beliau lantas berkata kepada saya: ‘Kalau kata-katamu tadi memang benar, coba tebak siapa saya?’ Dengan tegas dan pasti saya katakan kepada beliau: ‘Engkau Nabi Khidhir’.”
Rohani Syaikh Abubakar al-Kattani menjadi sedemikian cemerlang seperti itu, tentu saja tidak diperoleh oleh beliau secara gratisan murni. Tapi mutlak dicapai dengan sarana kesungguhan, kegigihan, ketekunan dan keikhlasan di dalam mempersembahkan segala macam amal terhadap Allah Ta’ala. Dan semua itu merupakan realitas karunia rohani yang tidak terbantahkan.
Menurut sang sufi, sebagai para salik atau penempuh lorong-lorong rohani, orang-orang beriman secara ideal mesti memfokuskan hati mereka secara penuh dan utuh untuk martabat mereka di akhirat. Sedangkan secara fisik, mereka mesti merelakan diri menjadi bagian yang sublim dari gemuruh kehidupan sosial.
Sang sufi adalah orang yang sangat beruntung secara rohani. Bagaimana mungkin tidak, beliau merupakan seorang sufi yang diperkenankan untuk menjadi bagian dari para murid Rasulullah Saw sebagaimana diungkap oleh Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi di dalam Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami.
Begitu sering beliau bertanya tentang berbagai hal kepada Rasulullah Saw di dalam mimpi secara langsung. Bahkan beliau sampai titen, malam apa saja beliau dijumpai di dalam mimpinya oleh Sayyid al-Wujud Saw itu. Betapa indahnya. Betapa nikmatnya. Betapa beruntungnya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024