Beliau adalah Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim Abubakar al-Mufid. Beliau adalah seorang sufi yang agung. Berasal dari Jarjarabad. Beliau pernah menyaksikan Syaikh Junaid al-Baghdadi dan Syaikh Yusuf bin al-Husin. Beliau bersahabat dengan Syaikh Abu ‘Utsman al-Hiri. Beliau wafat pada umurnya yang ke-94 di tahun 364 Hijriah.
Beliau adalah seorang sufi yang sangat baik akhlaknya, sangat mulia cita-citanya, sangat istiqamah di dalam beribadah. Beliau memiliki sebuah kitab yang di dalamnya menyebutkan bahwa orang-orang pernah bertanya kepada Syaikh Abu Sa’id al-Kharraz menjelang wafat: “Apa yang kau inginkan?” Yang ditanya menjawab: “Aku sedih atas kelalaianku kepada Allah Ta’ala.”
Jelas bahwa beliau adalah seorang sufi yang sangat baik akhlaknya. Hal itu menunjukkan kepada kita semua bahwa beliau tidak lain merupakan puncak dari ilmu pengetahuan agama. Karena bagaimana pun, akhlak merupakan saripati ilmu pengetahuan agama yang telah mengendap dengan sempurna di kedalaman batin manusia.
Seandainya ilmu pengetahuan agama seseorang telah mencapai sempurna, belum tentu akhlaknya dijamin sempurna juga. Ilmu pengetahuan agama merupakan suatu hal, sementara akhlak yang telah terbentuk dengan sempurna merupakan sesuatu yang jelas lain. Di antara keduanya bisa terbentang sebuah jarak yang begitu panjang.
Itulah sebabnya, di dalam hidup yang sangat sementara ini, ketika kita telah menguasai ilmu pengetahuan agama, maka tugas kita selanjutnya adalah mengamalkan ilmu agama itu dengan penuh semangat dan ketulusan, agar menjadi satu antara ilmu agama dan pengamalannya. Sehingga menjadi sedemikian nyata bagi kita bahwa melaksanakan ilmu agama itu kenikmatan yang tiada duanya.
Beliau jelas merupakan seorang sufi yang sangat mulia cita-citanya. Secara hakiki, cita-citanya itu tidak mungkin tertuju kepada apa pun selain Allah Ta’ala. Di hadapan beliau, juga siapa pun yang secara rohani sepantaran dengan Syaikh Abubakar al-Mufid itu, apa yang disebut sebagai selain hadiratNya pastilah sama sekali tidak penting. Baik hal itu berkaitan dengan makanan, minuman, kendaraan atau tempat tinggal.
Beliau juga merupakan seorang sufi yang sangat istiqamah dalam beribadah: sebuah kedudukan rohani yang merupakan incaran para salik. Setiap pencari Tuhan, pastilah mengincar posisi yang mulia tersebut, tidak mungkin tidak. Karena bahkan seribu karamah sekali pun, belum ada apa-apanya dibandingkan dengan istiqamah itu.
Istiqamah merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk didapatkan. Selama seseorang masih berpegang teguh dengan potensi yang dimilikinya sendiri, selama itu pula dia tidak akan pernah merasakan nikmatnya istiqamah. Hanya ketika dia telah dipakai oleh Allah Ta’ala untuk bersembah-sujud kepada hadiratNya, maka dia akan menikmati istiqamah itu.
Di dalam Qur’an (QS. al-Jin: 16) dijanjikan oleh Allah Ta’ala bahwa siapa pun yang telah dianugerahi jalan spiritual yang berupa istiqamah, maka hati orang itu akan diberi mata air kecintaan. Yakni, kenikmatan yang tak terpermanai di dalam melaksanakan ajaran apa pun yang datang hadiratNya.
Dalam Kitab Tafsir ‘Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an karya Syaikh Ruzbihan al-Baqli disebutkan bahwa setelah mereka menyaksikan diri mereka berada di dalam jalan makrifat kepada hadiratNya, secara otomatis mereka kemudian menempuh jalan istiqamah di dalam menyusuri cahaya kesaksian terhadap Allah Ta’ala. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Hasan al-Hamadzani - 13 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #3 - 6 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #2 - 29 November 2024