Beliau adalah Muhammad bin Musa Abubakar al-Wasithi yang juga dikenal dengan sebutan Ibn al-Farghani. Beliau termasuk sufi terdepan dari kalangan para sahabat Syaikh Junaid al-Baghdadi dan Syaikh Ahmad an-Nuri. Beliau adalah seorang guru rohani bagi Syaikh Abu al-‘Abbas as-Sayyari.
Di saat remaja, beliau meninggalkan Irak menuju ke Merv, Turkmenistan. Meskipun dikenal sangat alim, selama tinggal di Irak, beliau jarang sekali berbicara tentang berbagai keilmuan yang dikuasainya. “Aku berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain barangkali aku menemukan satu orang saja yang bisa memahami kata-kataku.”
Beliau bermukim di Merv, Turkmenistan, lantaran adanya satu alasan. Yaitu, di sana beliau bisa berjumpa dengan orang-orang yang memiliki tingkat pemahaman yang tajam. Beliau akhirnya wafat di sana pada tahun 280 Hijriah. Kuburannya sangat masyhur dan diziarahi banyak orang.
Selain dikenal sangat alim di bidang ilmu Fikih dan Ushul Fikih, beliau juga memiliki reputasi keilmuan yang sedemikian mendalam di bidang Tasawuf. Bahkan dikatakan oleh orang-orang sezamannya bahwa tidak ada seorang pun yang begitu cemerlang menjelaskan tentang Tasawuf sebagaimana beliau.
Menurut Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang masyhur dengan sebutan Syaikh al-Islam, Syaikh Abubakar al-Wasithi adalah seorang pemimpin rohani di bidang ketauhidan. Artinya adalah bahwa beliau merupakan seorang sufi yang telah dianugerahi kemampuan yang sangat brilian untuk mencapai puncak ketauhidan terhadap Allah Ta’ala.
Di puncak rohani seperti itu, yang disaksikan dan dirasakan oleh beliau adalah kemahaan hadiratNya belaka. Di saat itu, segala sesuatu menjadi sarana perjumpaan dan sarana dialog dengan Allah Ta’ala. Segala sesuatu tidaklah berdiri sebagai segala sesuatu itu sendiri, melainkan sebagai wujud kehadiran Ilahi semata.
Itulah sebabnya beliau juga sedemikian mahir di dalam penguasaan terhadap ilmu isyarat. Yaitu, sebuah bidang keilmuan di dalam Tasawuf yang bersumber dari deteksi hati dan kesaksian roh. Barang siapa dianugerahi ilmu ini, maka dia akan mengerti isyarat-isyarat Ilahi lewat segala sesuatu.
Melalui perolehan puncak spiritual, Syaikh Abubakar al-Wasithi menyatakan dengan jelas dan pasti: “Aku dan Dia, Dia dan aku. Perbuatan-perbuatan muncul dariku. Ganti muncul dariNya. Doa muncul dariku. Ijabah muncul dariNya. Seluruh pernyataan itu tidak lain merupakan dualitas sekaligus dualisme.”
Secara lahiriah, kalimat di atas merupakan ungkapan-ungkapan kebenaran bahwa “aku bukanlah Allah dan Allah bukanlah aku.” Akan tetapi secara hakikat kalimat tersebut jelas menunjuk kepada adanya dikotomi yang kontras antara Allah Ta’ala dengan seluruh makhlukNya.
Seolah-olah secara substansial memang betul-betul terpisah di antara keduanya. Padahal pasti bahwa makhluk itu ada karena ada kehadiran Allah Ta’ala padanya. Itu artinya adalah bahwa keberadaan makhluk tak lebih merupakan kiasan atau majazi belaka. Tidak betul-betul ada secara mandiri. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah ar-Rudzbari - 20 September 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
Miya
Tombol like tidak ada ya?