Syaikh Abubakar ar-Razi

Beliau adalah seorang sufi yang sangat berhati-hati di dalam berbagai perilakunya, sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah. Sampai-sampai para sufi yang lain mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang lebih banyak menangis ketika beribadah dibandingkan dengan beliau.

Kebanyakan dari para pemula di bidang spiritualitas dan para murid yang bersungguh-sungguh menggarap diri mereka, semuanya menganggap bahwa mereka tidak lain merupakan “tawanan” dari Syaikh Abubakar ar-Razi yang begitu menawan.

Ibadah dan tangisan: keduanya sedemikian kuat dan terfokus kepada Allah Ta’ala. Sama sekali tidak tertuju kepada segala sesuatu yang lain. Ibadah dan tangisan: keduanya merupakan saksi kerinduan yang senantiasa menghablur kepada Yang Maha Ada. Begitu tak terperi. Begitu mengharukan.

Kenikmatan rohani yang selalu beliau tempuh tidak lain adalah musik sema. Sebuah “orkestrasi” spiritual yang sedemikian terbuka untuk bisa dinikmati oleh siapa saja, untuk bisa selalu diselami oleh siapa pun. Di saat seperti itu, dapat dipastikan bahwa beliau adalah seorang sufi yang sangat menyatu dengan alunan musik, mendaki menuju kemahaan hadiratNya.

Di awal mula beliau menceburkan diri dalam dunia tasawuf, selain bertaubat dengan cara meninggalkan segala sesuatu yang buruk dan tidak bermakna secara hakiki di hadapan Allah Ta’ala, beliau bertekad menuju ke kota paling ideal di dalam Islam, yaitu Makkah al-Mukarramah.

Di sana, beliau bergabung dengan para sufi selama satu tahun penuh. Dalam konteks ini, pergabungan dengan mereka tidak saja berjalan secara harfiah, tidak saja berlangsung apa adanya, tapi betul-betul dijadikan oleh beliau sebagai kesempatan untuk memperoleh sebanyak mungkin ilmu pengetahuan dan semangat rohani yang senantiasa membara. Sebuah kesempatan emas yang kemudian menentukan siapa beliau sebenarnya.

Di Makkah, pada suatu hari beliau pernah mengalami rasa sumpek yang luar biasa. Beliau lalu pergi ke Yaman dengan niatan untuk menghilangkan sumpeknya itu. Betul, sampai di Yaman beliau menemukan adanya pencerahan bersamaan dengan mendapatkan uang satu dinar. Ya, cuma satu dinar, tapi pencerahannya sangat luar biasa.

Di waktu itu, baju satu-satunya yang dikenakan oleh beliau adalah baju yang telah sobek. Dengan satu dinar itu, ingin sekali beliau membeli sebuah baju. Tapi keinginan itu tidak lantas dilampiaskan, namun ditahan dulu. Uang satu dinar itu “ditanam” di antara dua batu. Beliau dengan penuh keyakinan lantas memasuki kota Makkah.

Setelah rampung melaksanakan Thawaf, beliau terus bergegas menuju Syaikh Abu ‘Amr az-Zajjaji. Beliau mengajukan sebuah pertanyaan kepadanya. Syaikh Abu ‘Amr az-Zajjaji dengan tegas mengatakan kepada beliau: “Pergilah kau. Belanjakan dinar yang telah kau tanam itu.” Setelah melaksanakan perintah itu, beliau datang lagi. Dan dijawablah pertanyaan yang semula diajukan kepadanya. Siapa pun yang tidak memiliki jarak pembatas antara dirinya dengan Allah Ta’ala, maka jelas dia akan diberi tahu “segala” sesuatu yang tidak diketahui oleh orang lain. Sehingga apa pun yang belum tersentuh oleh manusia, dia akan terlebih dahulu mengetahui dan merasakannya. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!