Syaikh Abubakar Syakir

 

Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang populer dengan sebutan Syaikh al-Islam, sebagaimana termaktub di dalam Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami, menyatakan bahwa Syaikh Abubakar Syakir tinggal di Nisapur.

Tidak ada data yang menyebutkan tahun berapa dan di mana beliau dilahirkan. Tidak ditemukan juga adanya keterangan di mana dan kapan beliau wafat. Tidak disebutkan pula beliau pernah berguru kepada siapa. Pun tidak diungkapkan kepada siapa saja beliau pernah berguru.

Beliau adalah seorang sufi yang sedemikian agung kondisi rohaninya. Pemilik hati yang sangat bersih. Seorang sufi yang senantiasa menjaga dan memaknai waktunya dengan sepenuh hati. Beliau termasuk salah satu kerabat dari Syaikh Abu Sahl as-Shu’luki.

Pada suatu hari, Syaikh Abu Sahl as-Shu’luki pernah menyatakan kepada Syaikh Abubakar Syakir: “Engkau termasuk salah seorang kerabatku. Kenapa engkau tidak datang ke sisiku?” Yang ditanya mengajukan sebuah jawaban: “Aku akan datang di sisimu dengan adanya beberapa syarat.

Yaitu, engkau harus berdiri ketika aku datang sebagai wujud penghormatan. Engkau harus menghadap kepadaku. Tidak boleh engkau menoleh kepada selainku. Dan engkau tidak boleh bersikap sombong kepadaku. Karena aku sesungguhnya adalah seorang yang fakir yang tidak memiliki apa pun untuk dibanggakan.

Sang tuan rumah yang tidak lain adalah Syaikh Abu Sahl as-Shu’luki tidak memiliki cara lain selain mengikuti kehendak sang sufi. Kehendaknya pastilah merupakan perpanjangan dari kehendak Allah Ta’ala. Karena sesungguhnya ketika telah sampai di puncak rohani, seorang sufi dapat dipastikan tidak mempunyai apa pun, termasuk tidak memiliki kehendaknya sendiri.

Ketika sang sufi mengunjungi Syaikh Abu Sahl as-Shu’luki, sang tuan rumah betul-betul berdiri menyambut kehadirannya, dengan penuh penghormatan, dengan penuh semangat, dengan penuh cinta dan takzim yang membahana. Akan tetapi ketika mau pulang, lupa dia untuk berdiri lagi.

Sang sufi kemudian kembali lagi. Dan membacakan bait-bait sebagaimana berikut ini: “Walau aku memiliki keluarga, walau aku sedikit harta dan banyak utang, sungguh aku hanya berpegang teguh pada rezeki Tuhanku. Hajat yang betul-betul aku butuhkan adalah hubungan baik antara diriku dengan diri hadiratNya.”

Betapa sangat kukuh sekaligus gagah spiritualitas sang sufi. Lebih kukuh sekaligus lebih gagah dibandingkan gunung-gunung. Kalau gunung-gunung itu merupakan pasak-pasak bumi, maka menjadi jelas bahwa sang sufi tidak lain adalah paku kehidupan umat manusia di dalam kenyataan ini.

Semenjak saat itu, keduanya menjadi senantiasa akrab, jauh lebih akrab dibandingkan seseorang dengan saudara kandungnya sendiri. Iman tidak saja telah mempertemukan keduanya, tapi lebih dari itu telah menyatukan keduanya di sebuah tempayan yang sangat mengasyikkan. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!