
Beliau adalah Abu ‘Abdillah Ahmad bin ‘Ashim al-Anthaki. Termasuk generasi awal di kalangan para sufi. Seangkatan dengan Syaikh Bisyr al-Hafi, Syaikh Sari as-Saqati, Syaikh al-Harits al-Muhasibi. Beliau juga merupakan salah satu guru rohani dari Syaikh Ahmad bin Abi al-Hawari.
Berkaitan dengan roh dari segala amal kebaikan, baik dalam konteks vertikal maupun horizontal, yakni keikhlasan, beliau pernah memberikan jawaban yang sangat kredibel ketika ditanya tentang hal tersebut.
“Jika engkau melakukan amal baik,” ungkap beliau kepada sang penanya sebagaimana dikutip oleh Mulla ‘Abdurrahman Jami dalam kitab Nafahatnya, “dan engkau tidak ingin amal baikmu disebut atau diingat oleh orang lain, engkau tidak ingin siapa pun mengagungkan dirimu karena amal baik itu, dan engkau tidak berharap pahala dalam wujud apa saja kecuali dari sisi hadiratNya, maka itulah yang sebenarnya disebut sebagai keikhlasan.”
Dalam konteks laku spiritual sekaligus pemahaman Syaikh Ahmad, agar memiliki roh yang menjadikan amal itu hidup dan melesat menuju Allah Ta’ala, seseorang mesti tidak mempunyai orientasi di dalam beramal kecuali terhadap hadiratNya. Seberapa pun persentasenya, tidak boleh seseorang beramal untuk “dihaturkan” kepada sesama dengan tujuan agar dikenang atau untuk tujuan apa pun yang lain.
Dalam paradigma hakikat ala kaum sufi, ketika seseorang beramal baik, seberapa pun banyaknya, setinggi apa pun nilai ketulusannya, sesungguhnya tidak secara otomatis dia menjadi agung karenanya. Sama sekali tidak. Karena pelaku kebaikan itu secara hakiki sesungguhnya adalah Allah Ta’ala. Dialah Pelaku tunggal dari seluruh kebaikan, satu-satunya, tidak ada siapa atau apa pun yang lain.
Karena itu, menginginkan adanya suatu keagungan lewat berbagai macam amal kebaikan yang secara lahiriah memang dikerjakan oleh sang subjek yang tidak lain adalah seseorang itu, sungguh hal itu merupakan suatu bentuk kecerobohan yang meleset dan menyimpang. Alamat keagungan yang hakiki sama sekali bukanlah manusia atau makhluk apa pun, melainkan hadiratNya semata.
Allah Ta’ala merupakan satu-satunya alamat untuk menjulangkan segala macam pengharapan. Berharap pahala kepada hadiratNya lewat sejumlah amal baik yang memang diperintahkan, hal itu tidak saja merupakan tindakan yang benar, tapi juga memiliki nilai yang luhur di sisiNya.
Menurut Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi (1165-1240), berharap pahala kepada Allah Ta’ala lewat amal baik, itu sama sekali tidak mengurangi kualitas dan tingkatan keikhlasan dari sang pelaku. Sama sekali tidak. Justru kebalikannya. Yaitu, tidak berharap pahala kepada hadiratNya justru menunjukkan adanya dua kegagalan sekaligus di dalam makrifat.
Pertama, gagal untuk makrifat terhadap diri si “pelaku” kebaikan itu sendiri. Karena sesungguhnya nada dasar dari diri si “pelaku” kebaikan itu tidak lain adalah harapan-harapannya. Dengan harapan-harapan tersebut dia bisa eksis sebagai seorang hamba yang tidak mungkin hidup dari selain Tuannya. Jangan pernah menyangka bahwa tidak berharap pahala di dalam beramal itu secara otomatis kemudian pasti menjadi lebih lebih tinggi kedudukannya dibandingkan berharap pahala. Tidak demikian.
Kedua, gagal untuk makrifat terhadap Tuhannya. Secara hakiki, Dialah satu-satunya yang mesti senantiasa diharapkan. Karena Dialah yang tidak pernah jeda bermurah hati dan karunia-karuniaNya selalu melimpah ruah. Dia senang terhadap hamba-hambaNya yang “cerewet” di dalam berharap dan berdoa kepada hadiratNya. Sebaliknya, Dia tidak senang kepada mereka yang tidak mau berharap dan berdoa kepadaNya.
Karena itu, harapan demi harapan dan doa demi doa mesti senantiasa kita julangkan kepada Allah Ta’ala setiap saat. Sebab jelas bahwa tanpa pertolongan hadiratNya, sama sekali kita tidak bisa eksis, bahkan tidak akan pernah mengalami ada. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Salibah bin Ibrahim - 14 February 2025
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025