Beliau adalah Ahmad bin Khadhrawih al-Balkhi. Termasuk sufi pada kalangan generasi awal. Kun-yahnya adalah Abu Hamid. Termasuk orang agung yang pernah dilahirkan Khurasan. Beliau berasal dari Balkh, Afghanistan.
Beliau bersahabat dengan Syaikh Abu Turab an-Nakhsyabi dan Syaikh Hatim al-Asham. Pernah juga menyaksikan Syaikh Ibrahim bin Adham. Beliau sebaya dengan Syaikh Abu Yazid al-Bisthami dan Syaikh Abu Hafsh al-Haddad. Pernah berkunjung kepada keduanya di Bistham dan di Nisapur.
Beliau wafat pada tahun 240 Hijriyah. Kuburannya hingga sekarang begitu masyhur di Balkh. Senantiasa diziarahi banyak orang yang ingin mendapatkan barokah Allah Ta’ala melalui perantara beliau.
Pada suatu hari, ada seseorang yang mohon nasihat kepada Syaikh Ahmad dalam rangka ingin mendapatkan kemajuan yang signifikan di dalam menempuh perjalanan spiritual kepada hadiratNya. Dengan penuh ketulusan hati dan kasih-sayang, beliau mengatakan kepada orang itu: “Matikan nafsumu hingga ia menjadi hidup kembali.”
Sebuah jawaban yang sangat simpel tapi sekaligus mengandung kedalaman makna yang sangat penting di dalam menekuni proses-proses rohani agar seseorang bisa wushul kepada Allah Ta’ala. Tentu saja dengan lebih bersandar kepada pertolongan hadiratNya ketimbang terhadap ikhtiar dalam mengamalkan nasihat itu sendiri.
Dapat dipastikan bahwa nafsu yang mesti dimatikan itu tidak lain adalah nafsu amarah yang merupakan potensi negatif dan selalu tiada henti mendorong manusia pada perbuatan destruktif, baik kepada orang lain maupun terutama pada diri pelakunya sendiri. Termasuk di dalamnya adalah perbuatan yang sia-sia dan hampa makna secara rohani.
Yang dimaksud dimatikan di sini bukanlah ditumpas-habisnya seluruh potensi nafsu itu. Tapi hanya bagian yang buruk saja. Selebihnya, yang baik dan positif, justru malah mesti ditumbuhkembangkan. Dan untuk itu, dimensi yang buruk itu harus dienyahkan terlebih dahulu. Agar tidak menjadi penghalang dan pengganggu.
Ketika seseorang sudah tidak berhasrat kepada apa pun yang selain Allah Ta’ala, maka nafsu buruknya berarti telah betul-betul mati secara sempurna. Dan di saat yang bersamaan nafsu terpujinya betul-betul membuncah secara sempurna terhadap hadiratNya.
Tidak berhasrat kepada selain Allah Ta’ala bukanlah berarti tidak bersinggungan dengan apa pun yang lain, tapi sepenuhnya menjadikan dan menggunakan apa yang disebut sebagai yang lain itu mutlak sebagai sarana untuk menggapaiNya. Tidak ada tujuan hakiki selain Dia. Murni tidak ada.
Di saat itulah, seseorang betul-betul hidup dengan berbagai macam warna ridaNya. Menjadi personifikasi yang sempurna dari kehadiranNya di tengah panggung kehidupan yang senantiasa gemuruh oleh berbagai dusta dan angkara, oleh berbagai friksi dan benci, oleh berbagai macam rayuan dan manipulasi. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025
- Syaikh Abu al-Husin as-Sarki - 27 December 2024