Beliau adalah Ahmad bin Husin bin Manshur al-Hallaj, putra dari sang sufi martir al-Hallaj yang sangat termasyhur dengan kalimat kontroversialnya itu. Beliau diperkirakan hidup dari paruh terakhir abad kesepuluh sampai paruh pertama abad kesebelas.
Dapat dipastikan bahwa di jalan rohani, sedikit-banyak beliau terpengaruh oleh dimensi spiritual ayahnya sendiri. Karena di samping sebagai seorang ayah, Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj tidak boleh tidak mesti sebagai salah satu di antara guru-guru beliau, bahkan boleh jadi sebagai guru rohani yang paling pokok dan paling berpengaruh terhadap beliau.
Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang masyhur dengan sebutan Syaikh al-Islam menuturkan sebuah riwayat dari Syaikh Abu ‘Abdillah bin Baku yang diterima dari Syaikh Ahmad al-Hallaj. Beliau menyatakan: ‘Pada suatu saat di ujung malam, aku memohon kepada ayahku: ‘Ayah, tolong wasiatilah aku.’
Ayahku mengatakan dengan penuh kasih sayang kepadaku: ‘Sibukkanlah nafsumu dengan sesuatu sebelum ia membuatmu sibuk.’ Aku merespons: ‘Baiklah. Tolong aku diwasiati yang lain lagi.’ Ayahku menambahkan: ‘Seluruh alam raya akan berkhidmat kepadamu seandainya engkau memiliki sesuatu yang sangat berharga.
Setitik debu darinya sanggup mengimbangi amal seluruh jin dan manusia.’ Dengan perasaan yang terkagum-kagum, aku bertanya: ‘Apa itu, Ayah?’ Ayahku dengan tandas memberikan jawaban yang hanya terdiri dari satu kata: ‘Makrifat’.”
Dua wasiat dari sang ayah, Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj, sangat berpengaruh terhadap anaknya, Syaikh Ahmad al-Hallaj, sang sufi yang merupakan objek pembahasan di dalam penulisan esai singkat kali ini. Betapa sangat nyata bahwa orang tua biologis dalam konteks ini tidak saja dijadikan sarana oleh Allah Ta’ala bagi kelahiran fisik sang anak, tapi juga dijadikan tangga spiritual oleh hadirat-Nya bagi pendakian derajat rohani anaknya itu.
Secara ontologis, dua wasiat yang diterima dengan lapang dada oleh Syaikh Ahmad al-Hallaj itu sesungguhnya memiliki makna urgen tidak saja untuk beliau, tapi juga untuk kita yang hidup di akhir zaman di mana kemuliaan semakin hari semakin terkikis dan akhlak terpuji menjadi semakin tidak laku di tengah pergantian hari demi hari.
Membuat nafsu kita sibuk dengan berbagai kebaikan adalah tindakan preventif agar kita tidak dibikin kalang kabut oleh seabrek destruksi yang mungkin ditimbulkannya. Di lidah nafsu, tentu sudah dapat dipastikan bahwa aneka ragam kebaikan itu pahit rasanya. Tapi kita sebagai tuan, tidak boleh tidak kita mesti memaksa nafsu itu untuk mengerjakan kebaikan demi kebaikan sehingga akhirnya dengan pertolongan Allah Ta’ala nafsu buruk tersebut secara perlahan tapi pasti akan sanggup menikmati kebaikan demi kebaikan.
Betapa sangat tidak mudah untuk konsisten melaksanakan wasiat yang berkaitan dengan penaklukan nafsu yang buruk itu. Akan tetapi bagi siapa pun yang berpikir kritis secara spiritual, wasiat itu tidak boleh tidak harus diimplementasikan dengan sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan. Kalau tidak, maka siapa pun akan menanggung bencana yang sangat mengerikan sebagai akibatnya. Sedangkan pada wasiat yang kedua, kalau kita dianugerahi karunia rohani yang berupa pengalaman makrifat terhadap Allah Ta’ala, sungguh berarti kita berada di puncak keberuntungan yang tertinggi, melampaui seluruh kenikmatan dunia ini dan kenikmatan akhirat nanti. Semoga kita dimudahkan untuk mendapatkannya. Amin. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Qasim al-Muqri - 11 October 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah Al-Muqri - 4 October 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah al-Maula - 27 September 2024