Beliau adalah sebagaimana judul di atas. Persis. Saudara kandung dari Syaikh Muhammad bin Abu al-Wardi. Termasuk sufi agung di Iraq pada zamannya. Segenerasi dengan Syaikh Junaid al-Baghdadi. Bersahabat dengan Syaikh Sari as-Saqati, Syaikh Abu al-Fath al-Hammal, Syaikh al-Harits al-Muhasibi dan Syaikh Bisyr al-Hafi. Dan karena beliau berguru secara rohani kepada Syaikh Bisyr al-Hafi, maka model suluk yang ditempuh mirip dengan jalan rohani gurunya itu.
Kesadaran beliau secara rohani sangat tinggi. Tidak dibiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa disertai dengan nilai-nilai keilahian yang begitu cemerlang, baik dalam konteks vertikal maupun dalam hubungan beliau dengan dunia sosial.
Tidaklah Allah Ta’ala menganugerahkan berbagai macam karunia kepada beliau kecuali direspons dengan cara mensyukurinya. Atas pengalaman rohaninya itu, beliau dengan tegas menyatakan, “Apabila Allah Ta’ala menambahkan kepada seorang wali tiga perkara, maka sudah seharusnya si wali itu menambahkan tiga perkara pula.
Pertama, apabila Allah Ta’ala menambah tinggi derajat si wali, maka seharusnya dia menambah sikap tawaduknya. Apabila Allah Ta’ala menambah rezeki materinya, maka seharusnya dia menambah sikap dermanya. Apabila Allah Ta’ala menambah umurnya, maka seharusnya dia menambah frekuensi kesungguhannya di dalam beribadah.”
Pertama, tawaduk atau sikap rendah hati sama sekali tidak akan menjadikan siapa pun yang mengamalkannya jatuh pada jurang kehinaan. Malah sebaliknya, ia akan mengantarkan seseorang pada derajat yang lebih tinggi dan terpuji, baik di hadapan Allah Ta’ala maupun di tengah kehidupan sesama.
Orang yang telah merasakan kelezatan rohani dengan sikap rendah hati akan semakin lebih bermanfaat terhadap kehidupan sesama. Tidak mungkin tidak. Sebab, sikap rendah hati itu di tengah kehidupan sosial tidak lain merupakan pengejawantahan yang sangat konkret dari paradigma altruistik terhadap kehidupan liyan.
Kedua, rezeki materi adalah bukti tak terbantahkan dari derma Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan derma hadiratNya itu mesti direspons dengan derma pula terhadap sesama. Derma disambut dengan derma. Dengan demikian, terciptalah konvergensi yang sangat anggun antara kemurahan Tuhan dengan kemurahan sang hamba.
Ketiga, di jalan rohani yang membentang antara sang hamba dengan hadiratNya, umur adalah modal utama untuk menggelar sembah sujud yang setulus-tulusnya. Dan jika jatah umur ditambah oleh Allah Ta’ala, maka tidak boleh tidak mesti direspons dengan heroisme spiritual yang lebih gigih lagi.
Tiga macam karunia dari Allah Ta’ala kepada seorang wali yang kemudian direspons dengan cara mensyukurinya itu seolah datang dari dua arah. Yaitu, karunia-karunia tersebut datang dari arah hadiratNya, sementara respons yang berupa syukur itu datang dari arah sang wali. Padahal sesungguhnya secara hakiki keduanya murni datang dari Allah Ta’ala.
Bagaimana mungkin tidak, wong baik karunia-karunia maupun manifestasi syukur terhadapnya itu tidak lain merupakan derma hadiratNya. Yakni, derma yang datang secara langsung dari Allah Ta’ala terhadap si wali dan derma yang muncul lewat diri si wali itu sendiri. Sungguh sangat gamblang bahwa apa yang disebut sebagai dua arah itu secara lahiriah, sejatinya adalah tunggal belaka. Yaitu, Allah Ta’ala semata. Karena diri si wali atau siapa pun itu sesungguhnya hanyalah diperankan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024