
Beliau adalah Abu al-Hasan ‘Ali bin Bikar. Termasuk generasi awal di kalangan para sufi. Bersahabat dengan Syaikh Ibrahim bin Adham, Syaikh Abu Ishaq al-Fazari, dan Syaikh Mukhallad bin al-Husin. Beliau bermukim di Mopsuestia, sebuah kota kuno di kampestris Kilikia di Sungai Piramus, Turki selatan.
Tentang ketangguhan spiritualitas, tentang ketekunan di dalam bersembah sujud, tentang penyelaman beliau ke samudra kemahaan Allah Ta’ala, kisah sebagaimana berikut ini bisa kita jadikan sebagai pintu masuk untuk sekadar memahami sekaligus merasakannya sesuai kapasitas rohani kita.
Ketika malam telah mengepakkan sayap kegelapan dan istri dari sang sufi mendatangi suaminya sembari menggelar tikar, sang sufi menyentuh istrinya dengan penuh kelembutan, lalu berkata, “Engkau sangat cantik dan lembut. Demi Allah yang telah menciptakanku, aku tidak akan tidur malam ini. Demi Allah yang telah menciptakanku, aku tidak akan menidurimu malam ini.” Beliau lantas menikmati salat berjam-jam hingga waktu subuh tiba.
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari sepenggal kisah di atas? Setidaknya ada dua poin penting yang perlu kita dedahkan di sini. Minimal untuk diri saya pribadi, syukur-syukur kalau juga berguna untuk orang lain, agar semakin terlecut di dalam menempuh lorong panjang rohani bersamaan dengan umur saya yang setiap tarikan napas dapat dipastikan semakin berkurang.
Pertama, kisah di atas bukan terutama mengajarkan kepada kita kaum lelaki untuk abai terhadap ajakan dan rayuan istri, cuek terhadap hasrat seksual istri yang mungkin sedang memuncak. Tidak, sama sekali tidak. Toh hubungan suami-istri bisa dilaksanakan di siang hari, tidak harus di malam hari.
Kisah di atas bisa kita jadikan inspirasi spiritual yang sangat signifikan bahwa betapa pun begitu cantiknya seorang istri, sungguh kecantikannya itu hanyalah merupakan percikan setitik debu dari ketidakterhinggaan keindahan Allah Ta’ala. Di hadapan keluasan tak terhingga keindahan hadiratNya, seluruh keindahan yang lain menjadi kusam tidak berharga.
Sebagaimana yang pernah dituturkan Siti ‘Aisyah tentang suaminya, Sayyid al-Wujud Saw, bahwa ketika sudah wudu untuk melaksanakan salat, beliau seolah tidak kenal terhadap istri tercintanya itu. Hal itu tidak lain karena saking jatuh cintanya yang begitu dahsyat kepada Allah Ta’ala. Menjadi “lenyap” dari pandangannya segala sesuatu yang lain.
Kedua, betapa sangat penting dimensi rohani menjadi nakhoda yang sedemikian otoritatif di dalam perjalanan hidup seseorang. Dengan dimensi yang sakral itu sebagai sopir, pastilah seseorang tidak akan salah dalam menentukan tujuan hidupnya, dalam menentukan kiblatnya yang hakiki. Dan kiblat hakiki itu tak lain adalah Allah Ta’ala.
Di dalam menyeberangi hutan kehidupan yang fana ini, kita mesti secara konkret berjerih-payah membuktikan, minimal kepada diri kita sendiri, bahwa kita jauh lebih tertarik kepada hadiratNya dibandingkan terhadap segala sesuatu yang lain. Karena kesenangan kepada yang lain mutlak merupakan tipuan belaka.
Seandainya, na’udzu bilLahi, yang menjadi penuntun hidup kita bukanlah dimensi rohani, tapi hawa nafsu yang kelam dan buta, pasti banyak kesenangan duniawi yang kita angkat tinggi-tinggi sebagai berhala, yang baik diam-diam maupun terang-terangan kita sembah sebagai tuhan-tuhan yang kepada mereka kita terjerumus dan menghinakan diri. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025
- Syaikh Abu al-Muzhaffar at-Tirmidzi - 24 January 2025