Nama lengkap beliau adalah Bisyr bin al-Harits bin ‘Abdurrahman al-Hafi. Termasuk sufi dari masa-masa awal. Berasal dari salah satu desa di Merv atau Aleksandria. Kemudian tinggal di Baghdad. Bertahun-tahun kemudian, beliau juga wafat di sana pada hari Rabu, 10 Muharram, tahun 227 Hijriah, dua tahun sebelum wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal.
Pada awalnya, beliau adalah seorang pemabuk dalam pengertiannya yang betul-betul negatif. Tak ada malam yang tidak beliau lewatkan tanpa mabuk. Tuak menjadi sanjungan dan kebanggaannya setiap hari. Di mana ada pesta, di situ dapat dipastikan ada Bisyr yang sedang mabuk. Antara beliau dengan mabuk seakan tidak ada jarak lagi.
Hingga pada suatu hari, ketika masih sempoyongan lantaran dikuasai mabuk, beliau menemukan secarik kertas yang bertuliskan kalimat basmalah di tengah jalan. “Ini nama Tuhanku. Ini sangat mulia. Tidak boleh ada di jalan seperti ini,” ungkapnya. Beliau ambil kertas itu, beliau gosok-gosokkan ke bajunya agar debu-debu yang menempel tersingkir. Lalu, secarik kertas itu diletakkan di kopiahnya.
Sesampainya di rumah, dalam kondisi sempoyongan karena masih mabuk, beliau membaluri secarik kertas itu dengan minyak wangi, lalu meletakkannya di dalam lemarinya yang paling atas. Tentu saja tujuannya adalah semata untuk menghormati nama Tuhan semesta alam itu. Bukan untuk tujuan apa pun yang lain.
Setelah itu, karena rasa kantuk dan lelah yang mendera, beliau akhirnya tertidur. Di dalam tidur itulah kemudian beliau bermimpi tentang sebuah suasana sakral yang sangat menggetarkan. Yakni, di dalam mimpi itu beliau mendengarkan suara yang begitu menggema: “Karena sudah kau harumkan namaKu, maka akan Kuharumkan namamu di dunia ini dan di akhirat nanti.”
Setelah peristiwa secarik kertas itu, Bisyr ternyata masih belum insaf juga dari kebiasaan mabuknya. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap malam beliau mabuk. Akan tetapi, setelah peristiwa secarik kertas itu juga, ada seorang wali yang mendengar adanya perintah di dalam mimpinya: “Carilah Bisyr bin al-Harits dan katakan kepadanya bahwa dia sudah dipanggil Allah.”
Sang wali tidak langsung percaya dengan mimpi yang dialaminya. Karena dia merasa bahwa “panggilan” suci itu tidak pantas untuk Bisyr yang suka mabuk. Sehingga mimpi itu datang lagi sampai tiga kali. Baru kemudian sang wali percaya kalau Bisyr itu memang sudah waktunya “dipanggil” oleh hadiratNya.
Ketika sedang mabuk di sebuah pesta di malam hari, sang wali betul-betul menemui dan menyampaikan mimpi yang dialaminya kepada Bisyr. Masih dalam keadaan sempoyongan, Bisyr lalu berpamitan kepada sesama teman-teman pemabuknya: “Kawan-kawan semua, aku minta maaf kepada kalian. Aku tidak akan pernah menemani kalian lagi di dalam mabuk seperti ini. Aku sudah dipanggil oleh Tuhanku.”
Bagi Bisyr bin al-Harits, berpamitan pada teman-temannya itu ternyata memiliki makna spiritual yang sangat mendalam. Yaitu, ternyata beliau tidak saja pamit pada mereka yang senantiasa dijumpai di pesta-pesta dalam rangka mabuk bersama, akan tetapi itulah pamitan beliau pada segala sesuatu yang selain Allah Ta’ala. Artinya adalah bahwa sejak saat itu hati beliau betul-betul merdeka dari seluruh yang fana. Hidup dan mati beliau lalu semata fokus kepada hadiratNya belaka.
Kedekatan beliau dengan Tuhan itu bahkan menjadikan Imam Ahmad bin Hanbal merasa iri secara spiritual. Sehingga Sang Imam mazhab itu sering kali merasa perlu untuk selalu datang ke rumah Bisyr bin al-Harits untuk mendapatkan cipratan barokahnya.
Dalam kondisi dirundung penasaran, murid-murid Sang Imam bertanya kepada guru mereka: “Tuan, mengapa engkau sering datang ke mantan pemabuk itu? Bukankah dalam segala ilmu engkau jauh lebih alim dibandingkan si Bisyr itu?”
Dengan tegas, si guru memberikan jawaban: “Dalam perkara berbagai macam ilmu, apa yang kalian katakan itu benar, tidak terbantahkan. Akan tetapi berkaitan dengan “alamat” Allah Ta’ala, Bisyr bin al-Harits jauh lebih paham ketimbang saya.” Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah ar-Rudzbari - 20 September 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024