
Beliau adalah Bunan bin Muhammad al-Hammal. Beliau berasal dari Kota Wasit, Provinsi al-Kut, Irak. Beliau bermukim di Mesir hingga wafatnya pada bulan Ramadhan di tahun 316 Hijriah.
Beliau termasuk sufi agung di Mesir. Gemar menyuarakan kebenaran. Melaksanakan dan memerintahkan kebaikan. Kemuliaannya tersohor. Karamahnya melimpah. Bersahabat dengan Syaikh Junaid al-Baghdadi dan para sufi yang lain. Beliau merupakan salah satu guru rohani dari Syaikh Abu al-Husin an-Nuri.
Beliau mendapatkan sebutan al-Hammal yang berarti kuli panggul. Tapi jelas bahwa beliau sama sekali bukanlah kuli panggul dalam pemahamannya yang tekstual. Beliau adalah seorang salik hakiki yang memanggul seluruh umurnya di dalam kepatuhan dan kesetiaan kepada Allah Ta’ala.
Sedemikian “intim” hubungan beliau dengan hadiratNya. Sehingga lenyap seluruh rasa gentar beliau terhadap segala sesuatu dari kalangan makhluk. Termasuk tidak memiliki rasa takut sedikit pun terhadap binatang-binatang buas.
Pernah pada suatu hari, beliau sengaja dilemparkan ke kandang harimau oleh orang-orang. Di tempat yang sangat mengerikan bagi kebanyakan orang itu, beliau dicium dan dijilat-jilat oleh harimau. Beliau tetap tenang. Tidak ada ekspresi rasa takut sama sekali. Raut muka beliau sama seperti sebelum beliau dilempar ke kandang harimau.
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa berbagai macam persoalan eksternal di dalam kehidupan ini sama sekali tidak memiliki dampak apa pun terhadap diri beliau, baik problem eksternal itu dirasa manis atau getir, baik dirasa menyenangkan atau tidak: bagi beliau, semua itu sama saja. Yakni, sama-sama merupakan realitas kehendak Allah Ta’ala yang bisa dihayati.
Itulah jiwa yang sangat gagah sekaligus kukuh. Lebih gagah dan lebih kukuh bahkan jika dibandingkan dengan gunung-gemunung yang paling menjulang sekalipun. Alasannya jelas bahwa kegagahan dan kekukuhan gunung-gemunung hanya berlangsung sementara pada episode kehidupan yang fana ini, sementara kegagahan dan kekukuhan jiwa seorang sufi berlangsung hingga di hari keabadian yang tidak bertepi kelak.
Salah satu peristiwa spiritual yang begitu berpengaruh bagi kegagahan dan kekukuhan rohani Syaikh Bunan al-Hammal adalah sebagaimana yang dikisahkannya sendiri berikut ini. “Pada suatu hari,” tutur beliau dengan getar rohani yang sangat meyakinkan, “saya sedang duduk-duduk di Makkah. Di sebelah saya ada seorang pemuda. Seseorang tiba-tiba datang dan memberikan uang beberapa dirham kepada si pemuda.
Tapi si pemuda dengan tegas menolaknya. ‘Aku tidak butuh uang-uang ini,’ katanya. ‘Kalau kau tidak mau menerima, sedekahkan saja uang-uang ini pada para fakir miskin,’ kata si laki-laki yang memberikan uang-uang itu. Betul, si pemuda mengambil uang-uang itu dan diberikan kepada para fakir miskin.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, saya melihat si pemuda mengais-ngais sesuatu di padang pasir. Saya heran. ‘Kau tidak menyisakan untuk dirimu uang beberapa dirham kemarin?’ tanya saya kepadanya. ‘Kemarin itu aku tidak tahu bahwa aku akan tetap hidup hingga saat ini,’ jawabnya dengan penuh keyakinan.”
Jelas sekali secara spiritual bahwa berjumpa dengan si pemuda itu hakikatnya berjumpa dengan keyakinan yang sangat tangguh di satu sisi, sementara pada sisi yang lain berarti juga berjumpa dengan kemutlakan Allah Ta’ala yang tidak bisa dibantah dan tidak bisa ditawar.
Berjumpa dengan si pemuda itu secara hakiki sesungguhnya berarti juga mendapatkan karunia rohani yang sangat signifikan di dalam menempuh suluk menuju kepada hadiratNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu Nashr as-Sarraj - 14 March 2025
- Syaikh Bab al-Farghani - 7 March 2025
- Syaikh Abu Hamid al-Muhib - 28 February 2025