Syaikh Dawud al-Balkhi

pinterest.com

Tak banyak yang saya ketahui tentang sufi di atas. Karena kitab-kitab tentang biografi para sufi mulai dari kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla’Abdurrahman al-Jami sampai kitab Hilyah al-Awliya karya Abu Nu’aim al-Ashfihani tidak menyinggung beliau kecuali hanya sepintas saja. Dalam kitab-kitab itu hanya diungkapkan bahwa beliau adalah salah satu sufi terdahulu yang “dihasilkan” oleh Kharasan. Beliau sezaman dengan Syaikh Ibrahim bin Adham, Syaikh Syaqiq al-Balkhi, Dawud ath-Thaie, dan lain sebagainya.

Tentang sufi yang sedang kita bicarakan ini, Syaikh Ibrahim bin Adham pernah menuturkan pengalamannya bersama beliau. Yakni, pada suatu saat si putra Adham itu menemani beliau dalam sebuah perjalanan yang cukup panjang dari Kufah ke Mekkah, sebuah perjalanan yang juga pasti melelahkan.

Inilah yang kemudian menjadikan si putra Adham itu begitu takjub kepada Syaikh Dawud: di perjalanan itu, ketika tiba waktu shalat Maghrib, si sufi melaksanakan shalat Maghrib, lalu shalat sunnat dua raka’at. Terus berkomat-kamit entah membaca apa. Hal yang menakjubkan kemudian terjadi: di sebelah kanan si sufi itu tiba-tiba ada semangkuk bubur. Entah dari mana datangnya. Datang begitu saja secara rahasia.

Sementara di sebelah kirinya, muncul sebuah kendi yang berisi air minum. Juga datang dengan tiba-tiba. Dan secara rahasia pula. Si sufi itu kemudian makan dan minum. Dan tak lupa juga untuk memberikan makan dan minum kepada kawan seperjalanannya itu. Sebuah kenikmatan yang dirasakan luar biasa.

Pada beberapa waktu setelah perjalanan panjang dan menakjubkan itu, si putra Adham itu, di sebuah masjid, bercerita tentang apa yang telah dialaminya bersama si sufi itu kepada seseorang yang agung dan waskita. “Oh, itu adalah saudaraku, si Dawud,” tukasnya. Orang agung itu lalu bercerita dan berbicara panjang-lebar tentang perjuangan rohani dan kemuliaan Syaikh Dawud al-Balkhi.

Orang-orang di masjid itu mendengarkan dengan seksama dan sepenuh hati. Larut di dalam pembicaraan orang agung itu, mereka yang di masjid itu menjadi sedemikian terharu. Dan seolah tanpa terasa, mereka semua menangis. Sebuah tangisan yang mengindikasikan adanya hubungan yang kuat secara spiritual, baik antara mereka dengan orang agung itu maupun dengan Syaikh Dawud al-Balkhi.

“Apa yang beliau ajarkan kepadamu?” tanya orang agung itu kepada si putra Adham. “Beliau mengajariku al-Ism al-A’zham,” jawabnya. “Bacaan seperti apa?” tanyanya lagi. “Itu lebih agung di hatiku ketimbang aku sebutkan dengan lisanku,” jawabnya dengan penuh kepastian.

Di dalam literatur dan kepustakaan kaum sufi, apa yang disebut sebagai al-Ism al-A’zham itu menunjuk kepada sebuah rahasia spesial yang sangat istimewa yang terjalin antara seorang hamba dengan Tuhannya. Rahasia itu bisa merupakan bacaan tertentu. Bisa juga merupakan hubungan spiritual sangat murni dan intim di antara keduanya dengan sama sekali tidak terpaut dengan bacaan apa pun.

Siapa pun yang telah dianugerahi al-Ism al-A’zham itu akan menjadi begitu istimewa: apa pun yang dikehendakinya, pastilah menjadi kenyataan. Tapi jangan dibayangkan bahwa pada saat itu dia akan mengumbar berbagai keinginannya kepada ini dan itu, kepada segala yang gemerlap dan menawan di dunia ini. Sama sekali tidak demikian. Karena pada saat itu, seluruh keinginannya murni merupakan pengejawantahan dari keinginan Allah Ta’ala semata. Dirinya sendiri sudah lenyap di dalam keagungan ego hadiratNya.

Orang yang telah mendapatkan al-Ism al-A’zham itu berarti telah mendapatkan karunia terbesar. Bukan saja mendapatkan aneka ragam rahmatNya yang sedemikian menyenangkan, tapi malah mendapatkan asal-usul dari segala rahmat. Yaitu, mendapatkan Allah Ta’ala itu sendiri. Betapa sangat mengagumkan. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!