Nama lengkap beliau adalah Dawud bin Nushair ath-Thaie. Termasuk generasi awal dari kalangan para sufi. Salah seorang pembesar di antara para syaikh. Tuan bagi para penganut tasawuf. Tak ada tandingan di masanya.
Beliau adalah salah satu di antara santri-santri Imam Abu Hanifah. Berkawan dengan Syaikh Fudhail bin ‘Iyadh dan Syaikh Ibrahim bin Adham. Di dalam dunia tarekat, beliau adalah murid dari Syaikh Habib ar-Ra’ie.
Beliau unggul di dalam berbagai keilmuan di dalam Islam. Utamanya di bidang ilmu fikih dan tasawuf. Menempati derajat yang tinggi di antara sesamanya.
Beliau berpaling dan menjauh dari kekuasaan. Memilih uzlah. Hidup dengan penuh kezuhudan dan kehati-hatian. Berhiaskan ketakwaan. Memiliki berbagai macam keutamaan. Kisah baik dan luhur tentang dirinya tidak terhingga.
Pada suatu hari, beliau pernah berpesan kepada salah satu muridnya: “Jika engkau ingin selamat, ucapkan salam dengan sepenuh hati dan ketulusan kepada dunia. Dan jika engkau ingin mendapatkan kemuliaan, bertakbirlah untuk akhirat.”
Apa maksudnya? Dunia ini, di mana perubahan dan kefanaan senantiasa berdentam-dentam, sama sekali bukanlah merupakan panggung kehidupan yang ideal. Bukanlah merupakan sesuatu yang didamba secara hakiki. Akan sangat kecewa kalau kita sepenuhnya menyandarkan diri kepadanya.
Di dalamnya, berbagai macam keburukan sering kali berkelindan secara solid. Hal-ihwal yang tidak sesuai dengan selera kebaikan bertebaran di mana-mana. Terlalu ambisi untuk “membereskannya” akan menjadikan siapa pun, termasuk engkau dan aku, dirundung stres, mumet, dan galau.
Itulah sebabnya, kenapa kita mesti mengucap salam dengan sepenuh hati dan ketulusan kepada dunia yang semakin tua dan sakit-sakitan ini. Setidaknya itu merupakan kabar tentang kedamaian dan keindahan kebun batin kita. Juga merupakan oase yang betapa pun kecilnya tetap saja berguna. Minimal kepada diri sendiri. Syukur-syukur melimpah juga kepada para lian.
Sedang bertakbir untuk akhirat tak lain merupakan ikhtiar spiritual agar kita terhindar dari keterjerumusan ke dalam penjara dunia yang pengap dan bacin ini. Yakni, kita betul-betul mengakbarkan hadiratNya di dalam pikiran, di dalam hati dan di dalam tindakan. Sehingga walaupun jasad ada di dunia ini, hati serasa sudah gamblang menyaksikan dan menikmati akhirat. Itulah kemuliaan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024