Beliau adalah Faris bin ‘Isa Abu al-Qasim al-Baghdadi. Salah satu pewaris model kerohanian Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj. Kelahiran Baghdad. Menetap di Khurasan. Lalu, pindah ke Samarkand. Bermukim di sana hingga kematian menjemputnya.
Beliau sezaman dengan pendiri madzhab Maturidiyyah, salah satu madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah di bidang ilmu Kalam, Syaikh Abu Manshur al-Maturidi, yang wafat pada tahun 335 Hijriah. Juga sezaman dengan Syaikh Abu al-Qasim al-Hakim as-Samarqandi. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa sang sufi hidup sebelum tahun seribu Masehi.
Yang cukup menarik dari beliau, walaupun jelas-jelas bahwa beliau merupakan pengikut model kerohanian Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj, adalah bahwa posisi beliau di tengah kehidupan masyarakatnya dapat diterima dengan baik. Sama sekali tidak ada penolakan terhadap beliau.
Juga sebagai corong tasawuf yang berbicara secara detail kepada para sufi yang lain, beliau senantiasa direspons dengan senang hati oleh mereka. Bahkan tidak jarang mereka mengutip berbagai pernyataan sufistik beliau, baik di dalam ceramah maupun tulisan-tulisan mereka.
Seorang sufi yang terkenal sangat alim, Syaikh Abu Bakar al-Kalabadzi, yang di antara karya-karyanya adalah Kitab at-Ta’arruf li Madzhab ahl at-Tashawwuf dan Kitab Bahr al-Fawaid, mengutip secara langsung dari ungkapan-ungkapan Syaikh Faris al-Baghdadi. Tanpa perantara literatur-literatur karya orang lain.
Secara keseluruhan, baik berbagai perilaku maupun ungkapan-ungkapan beliau, diterima dengan baik dan penuh penghormatan oleh semua kalangan. Padahal, bukankah beliau seorang sufi yang dengan tegas dan terang-terangan memproklamirkan diri sebagai pengikut model kerohanian Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj?
Pernah terjadi secara langsung dialog antara guru dan murid, antara seorang pengikut dengan orang yang diikuti, antara Syaikh Faris al-Baghdadi dengan Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj sebagaimana berikut ini: “Siapakah sesungguhnya seorang murid?” tanya sang murid dengan sungguh-sungguh. Sang guru menjawab: “Orang yang tujuannya hanyalah Allah Ta’ala dan terus berproses menuju kepada hadirat-Nya tanpa kenal jeda hingga akhirnya sampai kepada-Nya.”
Dan sejarah mencatat bahwa jawaban sang guru itu sangat berpengaruh di dalam setiap laku rohani muridnya. Tapi kenapa berkaitan dengan penerimaan sosial terhadap keduanya berbeda? Kenapa yang satu kontroversial dan yang satunya lagi bisa diterima dengan baik-baik? Bahkan sangat dimuliakan oleh masyarakatnya.
Ketahuilah bahwa Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj adalah seorang sufi yang di antara dimensi batiniah dan dimensi lahiriahnya nyaris tidak ada pembatas atau tedeng aling-aling. Sehingga pengalaman batiniahnya diungkapkan semua. Bahkan rasa paling hakiki bahwa dirinya itu tidak ada, yang mutlak ada itu hanyalah Allah Ta’ala belaka, itu pun juga disampaikan dengan kalimat yang sangat kontroversial.
Sedangkan Syaikh Faris al-Baghdadi sebaliknya. Beliau tahu persis tentang berbagai pengalaman rohani yang bisa dikonsumsi oleh khalayak, lalu disampaikan kepada umat. Beliau juga paham dengan detail berbagai pengalaman rohani yang hanya pantas dikunyah sendiri di kesunyian batinnya. Lalu, sepanjang umur beliau rahasia-rahasia itu tidak pernah disampaikan kepada publik.
Dengan demikian, beliau mendapatkan aneka ragam penghormatan dari berbagai kalangan. Beliau menduduki posisi yang istimewa di hati mereka. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024