Nama lengkap beliau adalah Fath bin Syakhraf al-Marwazi. Kun-yahnya Abu Nashr. Beliau termasuk kalangan sufi terdahulu dari Kharasan Raya yang meliputi Iran, Afganistan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.
Beliau suka sekali mengenakan qaba’: jubah pendek dan lebar yang ditempatkan di bahu dan menutupi bagian belakang dan dadanya, sebagaimana yang sering dipakai oleh para polisi di sana.
Selama tiga belas tahun beliau bermukim di Baghdad. Tidak makan apa pun dari makanan di sana. Beliau hanya makan suwaiq yang terbuat dari gandum dan jerawut: sebuah jenis makanan yang diproduksi di Antakya, kota di tepi timur Sungai Orentes, Hatay, Turki.
Tentang kemuliaan dan keunggulan spiritualitas beliau, seorang imam mazhab yang sangat alim dan warok, Imam Ahmad bin Hanbal, memberikan prediksi dan sanjungan luar biasa: “Dari debu Kharasan, tidak akan lahir lagi orang istimewa sebagaimana Syaikh Fath al-Marwazi.”
Hampir dapat dipastikan bahwa keseluruhan dari diri beliau terpukau terhadap “alamat” Allah Ta’ala. Perhatian dan orientasi hidupnya tidak pernah sanggup untuk menemukan alamat yang lain. Karena hati dan pikiran beliau telah lama steril dari segala yang fana dan hampa, steril dari segala sesuatu yang sesungguhnya tidak lebih dari sekadar rangka belaka.
Begitu sangat kuat intensitas kerinduan beliau terhadap hadiratNya. Baik hati maupun pikiran beliau sebenarnya sedemikian tersiksa oleh debur-debur kerinduan yang begitu eksotis dan senantiasa menusuk-nusuk itu. Akan tetapi daya hidup beliau justru menjadi semakin heroik secara spiritual lantaran “penyakit” rindu yang aneh itu.
Di sepanjang perjalanan spiritualnya, beliau memandang dirinya tidak lebih sebagai seorang musafir dengan langkah-langkah yang seakan tergesa agar segera sampai pada Kekasih yang senantiasa dirindukan. Tapi jelas bahwa durasi hidupnya tidak menjadi berkurang karena itu. Umurnya terus bertambah dan rindunya juga semakin terasa runcing kepada hadiratNya.
Ketika beliau sakit menjelang wafatnya, orang-orang yang hadir di sekitarnya menyaksikan beliau menggerak-gerakkan bibirnya, berkata-kata dengan sangat perlahan, seolah berbicara dengan dirinya sendiri. Ketika orang-orang itu mendekatkan telinga mereka ke mulut beliau, mereka terperangah mendengarkan kalimat yang begitu perlahan itu.
Apa kalimatnya? “Sungguh, sangat dahsyat rinduku kepadaMu. Maka, tolong ya Ilahi, segerakanlah perjumpaanku denganMu.” Setelah itu lalu senyap. Dan burung rohani yang senantiasa tergencet rindu itu dengan sangat cepat lalu melesat menuju kiblat hidupnya yang selama ini merupakan tumpuan bagi segala rindu, cinta, dan segenap sembah sujudnya.
Ketika orang-orang yang melayat membuka baju beliau untuk dimandikan, mereka menyaksikan pembuluh darah di betis beliau yang menjelma tulisan berwarna hijau: “Semata karena dan untuk Allah.”
Jenazah beliau dishalati sebanyak tiga puluh tiga kali oleh hampir tiga puluh ribu orang. Beliau wafat pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 273 Hijriah. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah ar-Rudzbari - 20 September 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024