Syaikh Fath al-Mushuli

fineartamerica.com

Nama lengkap beliau adalah Fath bin ‘Ali al-Mushuli. Termasuk sufi agung pada generasi awal. Salah satu di antara kawan-kawan Syaikh Bisyr bin Haris al-Hafi. Beliau wafat pada tahun 220 H, tujuh tahun sebelum wafatnya Syaikh Bisyr.

Beliau adalah orang yang mengenakan pakaian totalitas penghambaan kepada Allah Ta’ala. Tidak tertarik pada segala rayuan duniawi yang sangat fatamorganik, pada segala sesuatu yang diselimuti oleh kefanaan, pada segala sesuatu yang profan dan kalis tertimbun waktu.

Tujuan beliau hanyalah hadiratNya belaka. Apa pun yang lain tersingkir dari balairung hati dan pikirannya. Bahkan termasuk dirinya sendiri dipandang tidak penting karena hakikatnya sesungguhnya memang tiada.

Pada suatu hari saat ‘Idul Qurban, beliau pernah melewati tempat penyembelihan hewan-hewan kurban. Terperanjat dan terperangah beliau menyaksikan pemandangan yang sedemikian sakral itu. Tiba-tiba dari hatinya yang paling suci dan paling dalam, muncullah seutas kalimat berikut ini:

“Tuhanku, Engkau sangat mengetahui bahwa aku tidak memiliki apa pun untuk dikorbankan hari ini selain diriku sendiri.”

Persis setelah kalimat yang begitu menggetarkan itu rampung diucapkan, beliau lantas menggerak-gerakkan ujung tangan kanannya ke kanan dan ke kiri di lehernya sendiri, persis sebagaimana gerakan seseorang yang sedang menyembelih binatang kurban. Beliau langsung pingsan seketika.

Setelah kejadian itu, orang-orang mendapatkan beliau sudah dalam keadaan wafat. Di leher beliau, mereka juga menyaksikan adanya sebuah garis yang berwarna hijau. Begitu indah. Juga sangat menggetarkan.

Apa sesungguhnya gerangan makna hakiki dari kejadian yang menimpa Syaikh Fath al-Mushuli tersebut? Itu tidak lain merupakan realisasi dari kesadaran spiritual paling puncak yang dimilikinya di hadapan Allah Ta’ala: bahwa beliau, sebagaimana juga seluruh makhluk yang lain, sama sekali tidak merasa memiliki apa pun, termasuk dirinya sendiri, kecuali semua itu mesti dipersembahkan kembali kepada Yang Mahapunya secara total dan bahkan habis-habisan.

Artinya adalah bahwa jangankan hanya mengorbankan segala sesuatu yang dimilikinya, bahkan untuk mengorbankan dirinya sendiri kepada hadiratNya, beliau sudah lama siap. Karena ketika ditelisik, apa yang disebut sebagai diri sendiri secara otonom atau mandiri memang tidak ada dan tidak akan pernah ada selamanya.

Tentu saja tindakan seperti itu tidaklah sesuai dengan petunjuk fikih. Tapi bagi seseorang yang hatinya telah lama dirundung rindu yang akut kepada Allah Ta’ala, bagi dia yang telah lama tergila-gila kepada hadiratNya, bagi dia yang sadar bahwa secara hakiki dirinya sendiri adalah milikNya, tindakan spontan seperti itu sungguh sangat mudah untuk diafirmasi. Sebab, yang senantiasa membayang di hadapan orang seperti itu tak lain adalah keindahan hadiratNya, ke arah mana pun dia hadapkan wajahnya. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!