Beliau adalah Ghanim bin Sa’d. Berasal dari Baghdad. Karena itu, sebutan “al-Baghdadi” dinisbatkan di akhir namanya. Beliau bersahabat dengan Syaikh Abu Muhammad al-Jariri yang wafat pada tahun 312 Hijriah.
Beliau adalah seorang sufi yang telah dianugerahi tingkatan rohani yang sangat sempurna, terutama di bidang sikap kehati-hatian yang dikenal dengan istilah wara’. Beliau juga dikaruniai kedudukan rohani yang sangat sempurna di bidang kesungguhan di dalam mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala yang di dalam kepustakaan kaum sufi dikenal dengan istilah mujahadah.
Seperti apa sikap wara’ beliau? Di tingkatan wara’ seperti apa kedudukan rohani beliau? Menurut Imam al-Ghazali di dalam kitabnya yang sangat masyhur, Ihya’ ‘Ulumuddin, sikap wara’ itu memiliki tiga tingkatan. Pertama, wara’ yang diterapkan oleh kalangan orang awam. Yaitu, menjaga diri dengan penuh kehati-hatian agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan haram dan syubhat.
Kedua, wara’ yang diterapkan oleh kalangan orang istimewa. Yaitu, menjaga diri tidak saja dari perbuatan-perbuatan yang haram, tapi juga dari segala yang halal yang merupakan objek bagi berbagai macam hasrat nafsu yang kelam. Artinya adalah bahwa segala sesuatu yang halal itu tidak secara otomatis menjadi baik dan berkah. Karena yang juga menentukan kedua nilai yang mulia itu adalah sang subjek atau pelakunya. Jika orientasi spiritual pelakunya tidak lain adalah Allah Ta’ala, maka dapat dipastikan bahwa menggarap atau mengonsumsi segala sesuatu yang halal tersebut akan melahirkan aneka ragam kebaikan dan keberkahan.
Ketiga, wara’ yang diterapkan oleh kalangan orang yang sangat istimewa. Yaitu, menjaga diri dari munculnya kehendak dan penglihatan diri sendiri di dalam menekuni, menggarap, menangani, melakukan dan mengonsumsi segala yang halal.
Artinya adalah bahwa di tingkatan wara’ yang tertinggi itu, siapa pun yang bersemayam di dalamnya, pastilah sudah dianugerahi kesanggupan untuk mengganti kehendaknya sendiri dengan kehendak Allah Ta’ala, juga mengganti penglihatannya sendiri dengan penglihatan hadirat-Nya.
Itulah tingkatan wara’ yang telah diduduki oleh Syaikh Ghanim al-Baghdadi. Di kedudukan rohani yang sangat mulia itu, beliau tampil di medan kehidupan sebagai salah satu personifikasi dari tajalli Ilahi. Betapa sangat mulia. Betapa sangat cemerlang rohaninya.
Sungguh pun demikian, setelah beliau wafat, orang-orang berjumpa dengan beliau di dalam mimpi. Mereka bertanya: “Apa respons Allah Ta’ala kepadamu?” Beliau menjawab: “Allah memberikan rahmat kepadaku dan memasukkanku ke dalam surga.” Mereka bertanya: “Lantaran amal-amalmu?” Jawab beliau: “Bukan. Andai Allah melihat amal-amalku, tentu aku tidak akan seperti ini.”
Beliau yang telah berselimutkan kehadiran Allah Ta’ala itu, tidak serta-merta bersikap jemawa memandang dirinya sendiri, tapi malah sebaliknya. Yaitu, beliau merasa bahwa amal-amalnya sama sekali tidak pantas untuk dibanggakan, apalagi di hadapan keagungan hadirat-Nya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024
- Syaikh Musa al-Jirufti - 23 August 2024