Beliau adalah Abu Shalih Hamdun bin Ahmad bin ‘Imarah al-Qashshar. Di dalam madzhab fiqih, beliau mengikuti Imam Sufyan ats-Tsauri (97-161 Hijriah): sebuah madzhab tersendiri yang merupakan perpaduan solid dan utuh antara rasionalitas dan normativitas.
Sedangkan di dalam dunia sufisme, beliau dikenal sebagai imam sekaligus panutan bagi kalangan penganut “tarekat” Malamatiyyah: sebuah “gerakan” spiritual yang salah satunya ditandai dengan adanya penyamaran oleh para pengikutnya. Yakni, mereka sama sekali tidak menampakkan diri secara lahiriah sebagai para sufi. Tapi mereka tampil sebagaimana orang kebanyakan. Bahkan ada di antara mereka yang mengenakan model pakaian orang-orang jahat.
Beliau wafat di Nisapur pada tahun 271 Hijriah. Kuburannya berada di Hirat dan diziarahi oleh banyak orang.
Reputasi spiritual beliau begitu menggema dan sangat populer di Irak. Dua sufi agung, Syaikh Junaid al-Baghdadi dan Syaikh Sahal at-Tustari, memberikan testimoni yang sedemikian kredibel tentang beliau dengan menyatakan: “Seandainya setelah Nabi Muhammad Saw. masih dimungkinkan ada nabi, maka pastilah di antara nabi-nabi itu adalah Syaikh Hamdun al-Qashshar.”
Pujian dua sufi agung itu tentu saja bukanlah omong kosong. Tapi sepenuhnya didasarkan kepada kejernihan dan ketajaman penglihatan rohani mereka yang tidak perlu diragukan lagi. Mereka memandang kedudukan spiritual Syaikh Hamdun itu dengan cahaya Allah Ta’ala.
Dan memang betul bahwa di samping dianugerahi kesanggupan menekan segala tipu daya nafsunya hingga ke titik nadir penghabisan, beliau juga sanggup memandang tajalli hadiratNya dengan detail yang menjelma sebagai renik-renik kebaikan yang dipantulkan lewat amal-amal kesehariannya.
Beliau tidak menyaksikan setitik debu pun kebaikan pada dirinya dan orang lain kecuali hal itu merupakan anugerah murni dari Allah Ta’ala. Artinya adalah bahwa di pandangan beliau, seluruh kebaikan itu sesungguhnya secara hakiki pelakunya adalah Dia semata, tidak ada yang lain yang merecokinya.
Oleh karena itu, sangat bisa diafirmasi dan dimaklumi ketika beliau mengatakan, sebagaimana dikutip Syaikh Abu Nu’aim al-Ashfihani dalam kitab Hilyah al-Awliya, bahwa andaikan seseorang merasa dirinya lebih baik daripada Fir’aun, sungguh berarti dia masih mengidap penyakit hati yang berupa kesombongan.
Dalam kalkulasi filosofi-sufistik, kesadaran tentang kekosongan diri dari aneka ragam kebaikan, sebagaimana yang dialami oleh Syaikh Hamdun, adalah juga berarti kesadaran tentang rasa syukur yang paling puncak ketika seseorang menyadari bahwa dirinya sebenarnya tidak memiliki amal baik apa pun yang bisa dibanggakan, baik di hadapan hadiratNya maupun hadapan sesama. Karena jelas bahwa amalnya tak lain adalah amalNya.
Di sini kita dengan mudah dapat menemukan adanya korelasi yang rapi dan kuat antara posisi Syaikh Hamdun sebagai imam kaum Malamatiyyah dan kesadaran rohani beliau yang senantiasa “bersembunyi” di balik segala peran dan perbuatan Allah Ta’ala pada dirinya sendiri. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Muzhaffar at-Tirmidzi - 24 January 2025
- Syaikh Abu al-Husin al-Harawi - 17 January 2025
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025