Nama lengkap beliau adalah Ibrahim bin Sa’d al-‘Alawi al-Hasani. Dikenal juga dengan Abu Ishaq. Termasuk kalangan sufi terdahulu dari Baghdad. Beliau bertolak ke Syiria. Tinggal di sana dan wafat di sana juga. Dianugerahi beberapa karamah yang nyata. Sepantaran dalam tingkat kerohanian dengan Syaikh Ibrahim bin Adham.
Beliau adalah guru spiritual dari Syaikh Abu al-Harits al-Ulasi. Di awal mula praktik kesufian, si murid pernah makan sebutir telur di rumahnya dengan tanpa kawan. Lalu berangkat menuju rumah Syaikh Ibrahim al-‘Alawi. Sang guru sedang berjalan menuju sungai. Si murid mengikutinya.
Sang guru menjejakkan kakinya di atas air. Aneh. Beliau tidak tenggelam. Malah berjalan di permukaan air sungai. Menyaksikan sang guru dengan karamahnya, si murid takjub tak terkira. Muncul rasa kagum dan penghormatan di dalam hatinya.
“Guru,” kata Syaikh Abu al-Harits al-Ulasi dengan setengah memelas kepada gurunya itu, Syaikh Ibrahim al-‘Alawi, “tolong pegang dan bimbing tanganku.” Sang guru memegang tangan muridnya itu. Ditarik ke atas permukaan sungai.
Lalu apa yang terjadi? Separuh dari kedua kaki si murid itu tenggelam. Hanya separuh. Tapi aneh. Dia tidak bisa mengangkat kedua kakinya itu dari genangan air. Tidak sanggup. Seluruh kekuatan fisiknya tidak mampu menolongnya.
Sang guru merespons si murid dengan penuh santun dan bestari. Persis mengena jantung kesadaran spiritualnya: “Sebutir telur telah mencengkeram dan menahan kakimu sehingga tidak bisa ditarik dari dalam air.” Si murid serasa diguncang batinnya oleh kasyaf dan teguran gurunya. Sang guru semakin menggoreskan belati rohaninya di jantung muridnya.
Sang guru lebih mengaksentuasikan bimbingannya lagi: “Kau belum berhak menekuni jalan kerohanian itu. Bebaskan terlebih dahulu dirimu dari tipu-daya makhluk. Kosongkan hatimu dari apa pun selain hadiratNya. Lalu sembahlah Tuhanmu dengan penuh keyakinan dan kenikmatan spiritual.”
Tak mudah untuk melaksanakan nasihat Syaikh Ibrahim al-‘Alawi tersebut. Terutama berkaitan dengan pengosongan hati dari segala yang profan dan fana di alam semesta ini. Akan tetapi ketika dengan ketekunan, ketulusan dan pertolongan Allah Ta’ala kita kemudian sampai pada martabat rohani itu, sungguh itulah sebenar-benar karunia yang sangat agung dan begitu menyenangkan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Muzhaffar at-Tirmidzi - 24 January 2025
- Syaikh Abu al-Husin al-Harawi - 17 January 2025
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025