Beliau adalah Ibrahim bin Fatik Abu al-Fatik al-Baghdadi. Berasal dari Baghdad. Bersahabat dengan Syaikh Junaid al-Baghdadi dan Syaikh Ahmad an-Nuri. Beliau adalah salah seorang murid dari Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj. Dan akidah beliau dinisbatkan oleh orang-orang terhadap akidah putra Manshur yang dieksekusi di tiang gantungan itu.
Dapat diperkirakan di sini bahwa sang sufi yang kita bicarakan pada kesempatan kali ini hidup dari paruh terakhir abad kesembilan sampai paruh pertama abad kesepuluh Masehi. Hal ini menjadi landasan perkiraan karena beliau sezaman dengan Syaikh Junaid al-Baghdadi dan Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj yang hidup pada kurun waktu tersebut.
Beliau termasuk di antara para sufi agung. Hal itu dibuktikan setidaknya oleh adanya dua hal sebagaimana berikut ini. Pertama, penghormatan Syaikh Junaid al-Baghdadi terhadap beliau. Karena rasanya tidak mungkin poros berbagai tarekat dari Baghdad itu memberikan penghormatan sedemikian rupa kepada beliau seandainya beliau tidak memiliki reputasi rohani yang cemerlang dan budi pekerti yang luhur.
Kedua, karunia rohani yang diterima beliau yang berupa kesanggupan di dalam berkomunikasi dengan Allah Ta’ala walaupun “hanya” lewat perantara dunia mimpi sebagaimana yang telah dituturkannya. Di dalam Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi, sebuah kitab yang berisi antologi para sufi yang terdiri dari dua jilid, Mulla ‘Abdurrahman al-Jami mengutip langsung penuturan beliau.
“Aku bermimpi menyaksikan Allah Ta’ala,” ungkap beliau yang membuat saya yang notabene bukan siapa-siapa ini bisa bergetar, “pada malam hari ketika mereka yang menjadi wakil-wakil kekuasaan Dinasti Abbasiyah dengan sangat tega dan ganas menyalib Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj.
Aku bertanya kepada Allah Ta’ala di dalam mimpi itu: ‘Ya Allah, apa yang telah Engkau perbuat terhadap al-Hallaj?’ Hadirat-Nya menjawab: ‘Kutampakkan salah satu rahasia-Ku kepadanya. Lalu dia memproklamirkannya kepada segenap manusia. Aku bertajalli kepadanya. Lalu dia takjub dengan dirinya. Dan menarik orang-orang kepada dirinya sendiri’.”
Kesanggupan berkomunikasi dengan Allah Ta’ala tentu saja tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Apalagi yang kelas rohaninya hanyalah kaleng-kaleng seperti saya. Rasanya tidak mungkin atau nyaris mustahil. Walaupun tentu saja kalau hadirat-Nya berkehendak, tidak ada apa pun yang mustahil.
Kesanggupan beliau berkomunikasi dengan Allah Ta’ala berarti telah mengabarkan kepada kita bahwa beliau telah melampaui kedudukan hati dan roh di dalam menapaki jenjang-jenjang spiritualitas. Yakni, beliau telah mencapai kedudukan sirr atau relung batin.
Barang siapa telah sampai pada kedudukan hati di dalam menempuh suluk atau perjalanan rohani, maka dia akan merasakan bahwa yang terdekat dengan dirinya tak lain adalah Tuhan semesta alam. Barang siapa telah sampai pada kedudukan roh, maka dia akan menyaksikan hadirat-Nya lebih nyata dibandingkan dengan apa pun yang “lain”.
Dan siapa pun yang telah sampai pada kedudukan sirr atau relung batin di dalam menyusuri perjalanan panjang rohani, maka dia akan dianugerahi kemampuan bermukalamah atau berbincang-bincang dengan Allah Ta’ala. Dan dapat dipastikan bahwa firman hadirat-Nya itu sama sekali tidak tersentuh oleh rangkaian huruf dan suara. Betapa sangat beruntung orang yang mengalaminya. Betapa sangat berbahagia dia. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Husin al-Harawi - 17 January 2025
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025