Syaikh Ibrahim al-Jili

Beliau adalah sebagaimana judul di atas, tidak lebih dan tidak kurang. Beliau berasal dari Jil atau Jailan yang kemudian menjadi bagian dari namanya sendiri. Seperti yang dialami oleh Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani. Beliau merupakan seorang sufi yang agung yang memiliki berbagai kehebatan. Waktu-waktu beliau adalah waktu-waktu keberpihakan sepenuhnya kepada Allah Ta’ala.

Seorang sufi yang agung lainnya, Syaikh Abu al-Azhar al-Ishthahri, pernah menyatakan bahwa Syaikh Ibrahim al-Jili diuji oleh Allah Ta’ala dengan mencintai seorang putri dari pamannya sendiri. Di waktu itu, beliau lantas menikahinya juga. Dan lantaran cinta yang sangat terlalu kepadanya, beliau tidak sanggup untuk mendekatinya.

Sungguh merupakan sesuatu yang aneh, bagaimana mungkin seorang sufi yang memiliki hati yang tangguh itu tidak mempunyai kekuatan untuk mendekat kepada istrinya sendiri? Beliau mengatakan di kesunyian batinnya: “Bagaimana kondisiku ini? Aku sama sekali tidak bisa memahaminya.”

Beliau terus merenung. Menyelami kedalaman dirinya sendiri. Tak berkesudahan. Seolah dirinya merupakan lautan yang tidak bertepi, tidak terbatas, tidak bersaujana. “Jika aku mati dalam kondisi yang seperti ini, bagaimana nanti keadaanku? Akan menjadi seperti apakah aku kelak?” Sebuah ketidakpahaman yang begitu mencekam.

Di antara malam-malam yang dirasa begitu mencekam itu, beliau bangun, mandi dan berwudhuk. Lalu, beliau melaksanakan shalat dengan keheningan yang luar biasa, dengan kenikmatan yang paling puncak, dengan pengalaman rohani yang tak terpermanai. Beliau merasa sangat puas dengan menghadapkan diri sepenuhnya kepada Allah Ta’ala.

Setelah melaksanakan shalat, beliau kemudian bermunajat, berbisik dengan sangat pelan dan mesra kepada Rabbul’alamin: “Wahai Tuhanku, Tuhan seluruh nabi dan rasul. Sesungguhnya hanyalah Engkau yang awal. Tidak ada apa atau siapa pun sebelumMu. Bahkan kata “sebelum” itu sama sekali tidak pantas disandarkan pada diriMu.

Tolong wahai Tuhanku, kembalikanlah kondisiku yang semula, yang tentram dan bahagia dengan penuh kepatuhan kepadaMu, sebelum disandera oleh cinta. Tolong kembalikanlah hidupku yang kebak dengan pengharapan demi pengharapan yang mutlak hanya tertuju kepada hadiratMu. Karena hanya Engkaulah Pemilik segala sesuatu.”

Allah Ta’ala mengijabahi doa dan munajat Syaikh Ibrahim al-Jili. Dengan segera, putri dari pamannya itu mengalami demam yang luar biasa. Setelah berlangsung selama tiga hari, istri beliau wafat. Dengan penuh getar yang tidak sepenuhnya bisa dipahami oleh beliau sendiri, sang istri itu dikuburkan oleh beliau, suaminya.

Syaikh Ibrahim al-Jili kemudian mutlak menggunakan seluruh waktunya untuk Allah Ta’ala, tidak untuk apa pun yang lain. Dengan bertelanjang kaki, beliau memasuki padang pasir, simbol dari kemahaluasan hadiratNya yang tidak bertepi, lambang dari rahmatNya yang tidak terhingga. Di sana, beliau murni bercumbu secara spiritual hanya dengan Allah Ta’ala.

Dengan tidak menggunakan penutup kepala apa pun, beliau memasuki gurun yang kerontang. Di sana, di gurun yang luasnya tidak kepalang itu, beliau senantiasa bermesraan dengan Allah Ta’ala, suatu kenikmatan yang sebenarnya tidak bisa dilambangkan dengan apa pun. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!