Beliau berasal-usul dari Marghinan. Sebuah wilayah yang berada di Transoksania. Sebuah tempat yang namanya sangat masyhur hingga abad ketujuh Masehi. Sebuah wilayah yang ada di Asia Tengah. Tempat yang paling populer di dekat Fergana, Uzbekistan. Nama beliau kemudian dinisbatkan kepada Marghinan itu.
Menurut Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi, Syaikh Ibrahim al-Marghinani pernah menyatakan bahwa apa yang digapai oleh telinga disebut sebagai ilmu. Apa yang digapai oleh pemahaman disebut sebagai hikmah. Dan sesuatu yang didengar dan digapai oleh manusia adalah kehidupan itu sendiri.
Tidak mudah untuk betul-betul bisa memahami apa yang telah diungkapkan oleh Syaikh Ibrahim al-Marghinani di atas. Kita sangat membutuhkan adanya penjelasan tentang kalimat tersebut. Tanpanya, kita akan menjadi penasaran belaka. Apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh beliau?
Di tengah hutan rimba ilmu pengetahuan, telinga merupakan salah satu pintu yang bisa kita gunakan untuk mendapatkan “sesuatu” darinya. Semakin efektif kita menggunakannya, maka semakin banyak pula ilmu pengetahuan yang bisa kita dapatkan dari perpustakaan kehidupan ini.
Seandainya kualitas telinga kita sama dengan kualitas telinga yang dimiliki oleh Imam Syafi’ie (767-820 M), salah satu pendiri madzhab di antara madzhab yang empat, tentu akan menjadi sangat banyak ilmu pengetahuan yang kita miliki. Kenapa? Karena beliau tidak pernah lupa ilmu pengetahuan yang telah didengarnya dari apa atau siapa pun.
Sebelumnya, Imam Syafi’ie merupakan bagian dari orang kebanyakan yang selalu dihinggapi oleh lupa. Beliau lalu mengadukan perkara “destruksi” terhadap ingatannya itu kepada salah seorang gurunya yang bernama Imam Waqi’. Sang guru menjawab bahwa salah satu cara agar tidak menjadi seorang pelupa adalah meninggalkan adanya dosa-dosa.
Sang murid dengan penuh siaga menyingkir dari dosa-dosa, meninggalkannya sejauh mungkin, menjadi seseorang yang setia dan patuh kepada Allah Ta’ala. Dan setelah itu, seluruh ilmu pengetahuan yang masuk kepada beliau lewat pintu pendengaran atau yang lainnya, tidak pernah keluar lagi dari beliau.
Sementara apa yang disebut sebagai hikmah, posisinya bertakhta di atas ilmu. Yaitu, merupakan perasaan dari ilmu pengetahuan atau pemahaman. Sehingga dengan hikmah tersebut, seseorang tidak mungkin melakukan adanya kesalahan. Karena tindakan orang yang memiliki hikmah tidak saja betul dan benar, tapi juga pas dan tepat.
Sehingga orang yang menjadikan hikmah sebagai landasan perbuatannya di tengah kehidupan sosial, dia pastilah disenangi oleh siapa pun yang memiliki akal yang sehat dan bersih. Di pikiran sehat orang-orang yang ada di sekitarnya, dia tak lain merupakan orang yang istimewa.
Sebagaimana Nabi Muhammad Saw di tengah kehidupan para sahabatnya dulu. Setiap sahabat merasa diistimewakan oleh beliau lantaran saking kuatnya hikmah yang bersemayam di dalam diri beliau. Karena itu, dapat dipastikan bahwa beliau tidak lain merupakan puncak dari akhlak yang terpuji dari seluruh kehidupan umat manusia.
Sedangkan substansi dari kehidupan itu sendiri jauh lebih tinggi dan lebih luas lagi. Yaitu, berkaitan dengan segala sesuatu yang bisa didengar dan digapai oleh umat manusia. Ketika kita menyelam ke samudra kehidupan, sadarlah kita kemudian bahwa sesungguhnya kehidupan itu sendiri merupakan seabrek realitas kehendak hadiratNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 1 November 2024
- Syaikh Abu Muhammad ar-Rasibi - 25 October 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah al-Muqri - 18 October 2024