Beliau adalah Ibrahim bin Syaiban al-Kirman Syahi al-Qazwini Abu Ishaq. Di masanya, beliau merupakan seorang syaikh yang sangat cemerlang spiritualitasnya di gunung-gunung Hamadan. Perlu diketahui bahwa di zaman itu gunung merupakan tempat yang amat ideal untuk pengembangan rohani.
Kecemerlangan spiritual beliau terutama begitu unggul di bidang wara’ dan ketakwaan. Hal itu tentu saja tidak menafikan bidang-bidang spiritual yang lain. Hanya saja begitu nyata bahwa di dua bidang tersebut, beliau sedemikian dikenal dengan baik dan terhormat. Sehingga diungkapkan bahwa orang-orang lain tak sanggup mengamalkannya sebagaimana beliau.
Beliau bersahabat dengan Syaikh Abu ‘Abdillah al-Maghribi dan Syaikh Ibrahim al-Khawwash. Sebuah persahabatan yang tentu saja tidak biasa-biasa saja, tapi jelas semakin mendekatkan mereka kepada Allah Ta’ala. Beliau wafat pada tahun 337 Hijriah dengan tenang, dengan tenteram dan bestari.
Orang-orang bertanya kepada Syaikh ‘Abdullah bin Munazil tentang Syaikh Ibrahim al-Qazwini. Yang ditanya menjawab dengan penuh kepastian: “Beliau merupakan argumentasi Allah Ta’ala terhadap fakir-miskin. Beliau betul-betul mumpuni di bidang tata krama dan mu’amalah dengan sesama.” Sungguh, merupakan jawaban yang luar biasa.
Yang dimaksud sebagai “argumentasi Allah Ta’ala terhadap fakir-miskin” itu adalah bahwa Syaikh Ibrahim al-Qazwini memang merupakan seorang sufi yang sangat fakir secara lahiriah. Tapi secara batiniah, beliau betul-betul merupakan seseorang yang amat kaya-raya. Tidak tanggung-tanggung, beliau bahkan memiliki Allah Ta’ala.
Kepemilikan terhadap hadiratNya itu akan menjadikan siapa pun yang mengalaminya akan memandang “rendah” segala sesuatu yang lain. Di penglihatan batinnya, hanya Allah Ta’ala satu-satunya yang agung. Selebihnya, apa pun itu, terhitung remeh-temeh atau bahkan mungkin tidak ada.
Lewat pintu mana beliau mendapatkan Allah Ta’ala seperti itu? Di antaranya adalah lewat pintu penghormatan terhadap para sufi yang lain. Itulah sebabnya, beliau dengan tegas menyatakan bahwa siapa pun yang tidak menjaga penghormatannya kepada para sufi, Dia akan menimpakan bencana kepadanya yang berupa pengakuan bohong.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa para sufi itu merupakan pintu-pintu yang akan mengantarkan kita kepada Allah Ta’ala, baik secara langsung maupun tidak. Yang disebut secara langsung, mereka terlibat di dalam membimbing kita menuju kepada hadiratNya. Yang tidak secara langsung, tentu mereka telah mendoakan kita agar terhindar dari dosa-dosa yang akan menghinakan diri kita sendiri.
Membuka diri untuk para sufi adalah membuka pintu selebar mungkin untuk Allah Ta’ala. Di sana, di bawah bentangan matahari Dzat yang sangat cemerlang itu, segala sesuatu akan kembali menjadi tidak ada. Ada hanya sebagai pantulan-pantulan belaka. Tidak ada sebagai diri mereka sendiri.
Di saat itu pula, yang jelas-jelas ada hanyalah Allah Ta’ala satu-satunya. Yang lain terhitung muspra, terhitung tiada. Segala yang lain telah kembali kepada asal-usulnya. Dari Yang Satu lahir aneka ragam yang tidak terhingga, menempuh proses sejenak di alam kehidupan ini, lalu kembali lagi kepada Yang Satu. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024