Beliau adalah Ibrahim bin Yusuf bin Muhammad Abu Ishaq az-Zujaji. Beliau masih merupakan ayah dari Syaikh Abu ‘Amr az-Zujaji. Di dalam kitab-kitab tarikh, beliau masih terhitung sebagai seorang sufi. Beliau termasuk di antara para pembesar sahabat Syaikh Abu Hafsh al-Haddad. Beliau juga menekuni Thariqah Malamatiyyah.
Beliau adalah seorang sufi yang sedemikian tekun melakukan perlawanan terhadap kebengalan nafsunya sendiri. Bahkan, pada suatu saat beliau pernah dengan tegas mengatakan bahwa di dalam perlawanan terhadap dengus nafsu amarah yang kelam itu terdapat keberkahan.
Bagi beliau, hal itu berlaku selamanya. Terkecuali ketika nafsu itu sudah sepenuhnya tunduk dan patuh kepada dimensi roh yang di dalam hidup ini memang semestinya diikuti dan ditaati dengan setulus mungkin. Di dalam menelusuri medan-medan kehidupan ini, roh seharusnya menjadi nakhoda di depan, sementara nafsu harus setia dengan mengikutinya di belakang.
Ketika suatu waktu nafsu Syaikh Ibrahim az-Zujaji sudah secara total patuh dan setia kepada roh, beliau bahkan menyaksikan bahwa satu langkah nafsu itu ternyata tidak bisa dikejar hingga bertahun-tahun kemudian. Di saat itu, nafsu itu sudah sepenuhnya “berislam”, sepenuhnya menjadi bagian terdepan di dalam melesat menuju kepada hadiratNya.
Itulah nafsu muthmainnah. Itulah nafsu yang telah sepenuhnya gandrung kepada kebaikan, kepada segala sesuatu yang bercorak Tuhan. Itulah nafsu yang secuil pun sudah tidak memiliki hasrat kepada keburukan. Semua pintu yang tertuju kepada keburukan telah terkunci dengan sangat rapat.
Di atas nafsu muthmainnah itu, masih bertakhta tiga tingkatan nafsu lagi yang sudah bisa dipastikan mutlak tertuju kepada Allah Ta’ala. Itulah nafsu radhiyah yang senantiasa rida terhadap apa pun yang ditakdirkan hadiratNya kepada dirinya. Itulah pula nafsu mardhiyah yang sudah sepenuhnya mendapatkan ridaNya.
Dan yang tertinggi di antara ketiga nafsu itu adalah nafsu kamilah, nafsu yang telah sempurna menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam. Seluruh gerak dan diamnya, seluruh tindakan dan perbuatannya, seluruh kedipan mata dan kerlingannya: semuanya berasal-usul dari Allah Ta’ala dan telah kembali kepada hadiratNya pula.
Di dalam kondisi spiritual yang telah sempurna seperti itu, seseorang berarti telah selesai dengan dirinya sendiri. Kini, orang yang hidupnya sudah seperti itu, berarti dia berada di dalam fokus terhadap penyelesaian kehidupan orang-orang lain yang ada di sekitarnya, yang ada dalam jangkauannya.
Seseorang yang telah mencapai tingkatan spiritual seperti itu, berarti dia sudah tidak mempunyai utang apa pun kepada dirinya sendiri yang mesti dilunasi. Kini, “utangnya” hanya tertuju kepada orang-orang lain, kepada mereka yang menempuh proses untuk mencapai sempurna di hadapan Allah Ta’ala.
Di dalam menemani orang-orang kebanyakan itu, dia tinggal menghidangkan segala sesuatu yang telah dianugerahkan oleh Allah Ta’ala kepada dirinya. Bukan tugasnya untuk menjadikan mereka mau terhadap apa pun yang telah ditawarkannya dengan cara sebaik mungkin. Hal itu murni merupakan tugas mereka. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Qasim al-Muqri - 11 October 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah Al-Muqri - 4 October 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah al-Maula - 27 September 2024