Nama sufi ini saya temukan di dalam kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qursi karya Mulla ‘Abdurrahman Jami. Di situ hanya disebutkan bahwa beliau termasuk sufi mutakhir. Selebihnya tidak ada keterangan apa lagi tentang beliau, baik yang berkaitan dengan kelahiran, tempat tinggal, maupun wafatnya kapan dan di mana.
Saya cek di dalam kamus al-Munjid di bagian nama-nama, ternyata kosong, namanya tak tercantum. Kemudian saya cari di dalam kitab ar-Risalah al-Qusyairiyyah di bab tentang biografi singkat para sufi, juga tidak ada.
Akan tetapi, sufi ini bagi saya pribadi sangatlah penting, setidaknya kalau saya mencermati salah satu kalimatnya yang dengan tegas menyatakan: “Kendi seorang sufi adalah telapak tangannya, bantalnya adalah lengannya, dan kekayaannya tidak lain adalah Dia semata.”
Kalimat tersebut sangat natural dalam pengertian yang sesungguhnya. Berbicara tentang posisi kedirian seorang sufi yang paling minimalis. Tapi pada saat yang bersamaan juga menunjuk kepada adanya keteguhan batin yang begitu gempal dan sangat indah.
Cukup apa yang ada pada diri si sufi itu sendiri (telapak tangan, lengan dan hati) yang menjadi bekal sekaligus sarana untuk mendapatkan banyak sekali keuntungan spiritual. Modal yang betul-betul apa adanya tapi mendatangkan laba rohani yang tak terkira-kira.
Sufi seperti itu jelas tidak menuntut apa pun yang ada di luar dirinya. Berbagai rayuan duniawi, segala kehidupan yang fantastis dan glamor, semua ingar-bingar kemajuan, bukan saja tidak tersentuh, tapi bahkan tidak pernah terbayangkan sedikit pun di benaknya.
Rasa tertarik yang begitu kuat kepada Allah Ta’ala telah menjadikan sang sufi mati rasa terhadap apa atau siapa saja yang selain hadiratNya. Sehingga kemudian menjadi nyata secara spiritual bahwa Dialah satu-satunya kekayaan yang dimiliki dan dikandung oleh sang sufi. Sangat mengagumkan bahwa yang partikular mengandung yang universal, yang nisbi menggendong yang absolut.
Sang sufi telah mendapatkan hadiratNya sebagai keindahan dan kenikmatan yang paling utuh, paling unik, paling konkret, paling spektakuler, paling segala-galanya.
Lahirlah sang sufi itu kelihatan paling nestapa sekaligus paling nista. Akan tetapi batiniahnya sungguh sangat gemerlap dan cemerlang, sepenggal panorama dari pantulan keindahan surgawi. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah ad-Dinuri - 8 November 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 1 November 2024
- Syaikh Abu Muhammad ar-Rasibi - 25 October 2024
Yunita
Menariqqqq