Beliau adalah Ishaq bin Ibrahim al-Hammal. Beliau termasuk seorang sufi agung yang di samping memiliki sejumlah karamah, juga dianugerahi kedudukan rohani yang sangat tinggi. Beliau bermukim di Gunung Lukam, Suriah.
Perlu diketahui bahwa Gunung Lukam itu merupakan tempat para asketis, para sufi, para wali, dan mereka yang secara total menumpahkan seluruh sembah sujud yang paling murni terhadap Allah Ta’ala. Bukan dengan membangun rumah-rumah di sana, tapi murni mendiami sebuah gunung yang masih alami. Di sana, ada ribuan kisah adikodrati yang dialami oleh para kekasih hadiratNya.
Dan di antara kisah-kisah yang berkaitan dengan kemahaanNya yang dianugerahkan kepada para wali itu adalah apa yang telah diceritakan oleh seorang salik yang pernah berjumpa dengan Syaikh Ishaq al-Hammal di Gunung Lukam sebagaimana yang dituturkan di dalam Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami.
“Pada suatu hari,” kenang sang salik itu, “aku berada di Gunung Lukam. Aku tersesat jalan. Lalu, aku berjumpa dengan seseorang yang sudah sepuh, berpakaian kulit berbulu. Sekilas dia melihatku. Kemudian berkata: ‘Allahu Akbar. Kau tersesat jalan?’ Jawabku: ‘Iya.’
‘Sampai hari ini, saya sudah tiga puluh tahun tidak pernah melihat manusia,’ ucap orang sepuh itu dengan sangat meyakinkan. Si sepuh itu lalu memberikan sebilah tongkat kepadaku. Aku tergetar seketika. ‘Tongkat ini akan menunjukkan jalan bagimu. Pergilah,’ ucapnya.
Aku melangkahkan kaki sebentar. Tiba-tiba aku sudah sampai di Kota Antakya, Turki. Aku letakkan tongkat itu. Aku berwudhu. Seketika tongkat itu menjadi hilang. Aku ceritakan peristiwa yang baru saja kualami kepada penduduk Kota Antakya. Mereka bilang bahwa orang sepuh yang aneh itu tidak lain adalah Syaikh Ishaq bin Ibrahim al-Hammal.”
Konon, tidak ada seorang pun yang melihat beliau sebelum si salik yang beruntung itu. Tapi si salik sendiri merasa berduka dan menyesal kenapa dia kok tidak berlama-lama saja berdiam diri bersama orang suci yang sepuh itu, Syaikh Ishaq bin Ibrahim al-Hammal.
Secara substansial, berjumpa dengan orang suci sekelas Syaikh Ishaq bin Ibrahim al-Hammal sesungguhnya sama saja dengan berjumpa secara konkret dengan telaga rohani yang sedemikian jernih airnya, sedemikian sejuk, sedemikian melimpah ruah. Dahaga spiritual dari siapa pun yang sudi datang dengan ikhlas dan penuh kesungguhan kepadanya akan menjadi hilang seketika, digantikan oleh kenikmatan dan kebugaran yang tidak kepalang.
Orang suci seperti beliau atau seperti siapa pun yang lain tidak lain merupakan realitas dari tajalli Allah Ta’ala yang sangat konkret dan sangat berharga bagi kehidupan. Bagaimana mungkin tidak? Bukankah orang seperti itu sudah sepenuhnya merdeka dari jangkauan kekelaman nafsunya sendiri? Bukankah orang seperti itu telah menjadi mutlak sebagai bagian dari cahaya Ilahi?
Perjumpaan kita secara lahir-batin dengan orang seperti itu sesungguhnya secara hakiki merupakan perjumpaan kita dengan hadiratNya. Itulah sebabnya Maulana Jalaluddin Rumi dengan tandas menyatakan dalam salah satu puisinya bahwa “dekatmu secara rohani dengan kekasih Allah Ta’ala sebenarnya merupakan dekatmu dengan hadiratNya itu sendiri.” Demikian pula sebaliknya.
Karena itu, di tengah gelanggang kehidupan yang sangat sementara ini, betapa sangat penting adanya pertalian hati kita yang begitu kuat dengan jiwa para kekasih Allah Ta’ala. Lewat perantara mereka, kita akan lebih merasakan adanya kemudahan untuk menikmati kedekatan dengan hadiratNya. Amin. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Husin al-Harawi - 17 January 2025
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025