Beliau adalah Mahfuzh bin Mahmud an-Nisaburi. Seorang sufi agung dan terdepan dari Nisapur, Iran. Termasuk di antara para sahabat Syaikh Abu Hafsh al-Haddad. Wafat pada tahun 303 Hijriah. Kuburannya berada di sebelah kuburan Syaikh Abu Hafsh al-Haddad di Nisapur.
Beliau adalah seorang sufi yang sedemikian tunduk kepada Tuhannya, sedemikian berpegang teguh kepada hadirat-Nya, senantiasa berbaik sangka kepada sesama, senantiasa tajam penglihatan batinnya terhadap berbagai kekurangan dan keburukan dirinya sendiri. Sehingga beliau tidak sempat melirik keburukan-keburukan orang lain.
Dengan tegas beliau menyatakan bahwa barang siapa terpukau memandang aneka ragam kebaikannya sendiri, maka dia akan diuji dengan memperhatikan keburukan-keburukan orang lain. Sebaliknya, barang siapa jeli memandang keburukan-keburukannya sendiri, maka dia akan selamat dari terperangah memandang keburukan-keburukan orang lain.
Pandangan beliau tentang keburukan diri sendiri dan senantiasa berprasangka baik kepada orang lain itu pastilah terinspirasi oleh salah satu sabda Nabi Muhammad Saw yang menyatakan bahwa betapa beruntung orang yang sibuk dengan aibnya sendiri sehingga dia tidak punya kesempatan untuk memperhatikan aib orang lain.
Bagi beliau, yang dimaksud memandang keburukan diri sendiri itu tidak hanya tertuju terhadap berbagai dosa dan kelalaian hati terhadap Tuhan semesta alam, tapi juga mengarah kepada berbagai macam kebaikan dan kepatuhan yang mungkin masih mengandung adanya cacat dan kekurangan di dalamnya. Sehingga beliau dan siapa pun yang mengalami hal tersebut senantiasa melakukan perbaikan demi perbaikan diri untuk terus mendaki menuju tingkatan-tingkatan rohani yang lebih tinggi dan sempurna.
Bahkan lebih dari itu, di dalam konteks spiritualitas beliau menimbang dirinya sendiri bukan dengan kebanyakan orang beriman, tapi dengan mereka yang menurut pandangan beliau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan beliau sendiri. Sehingga di satu sisi menjadi sangat nyata kekurangan-kekurangan beliau, dan pada sisi yang lain menjadi sangat gamblang keutamaan-keutamaan mereka.
Sangat bisa dimaklumi kemudian, seandainya diibaratkan dengan sebuah wadah, beliau tidak lain merupakan wadah yang amat besar dan begitu tangguh untuk menampung sebanyak mungkin aneka ragam kebaikan, keterpujian dan kemuliaan yang datang dari tangan kemurahan Allah Ta’ala.
Tidak sebagaimana beliau, dalam perkara spiritualitas kebanyakan dari kita menimbang diri dengan orang-orang yang lebih bobrok dan lebih parah dibandingkan kita. Sehingga kita tidak merasa gelisah dengan berbagai macam keteledoran, kelalaian, kealpaan dan bahkan dosa-dosa kita.
Dan tanpa disadari, na’udzu bilLahi min dzalik, umur kita semakin hari semakin terkikis. Sementara secara rohani kita tidak pernah naik kelas. Dari waktu ke waktu terus berkubang di kedudukan yang sama. Menjadi sia-sia adanya karunia akal dan roh. Tidak dikelola sebagaimana semestinya.
Sementara pada saat yang bersamaan, di bidang kekayaan materi kita menimbang diri dengan orang-orang yang jauh lebih sukses ketimbang diri kita. Kalau hal itu yang terjadi, sungguh berarti kita terjun bebas ke dasar jurang malapetaka. Moga hal itu tidak terjadi. Amin. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Hasan al-Hamadzani - 13 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #3 - 6 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #2 - 29 November 2024