
Belum rampung saya menulis Syaikh Muammil al-Jashshash, seorang sufi yang walaupun tidak bisa baca dan tulis, tapi beliau sangat alim di bidang berbagai macam makrifat kepada Allah Ta’ala. Bahkan, penjelasan-penjelasan beliau tentang tafsir Qur’an sering kali jadi acuan para ulama di zamannya.
Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif menceritakan bahwa setelah Syaikh Muammil al-Jashshash datang ke Mekkah, beliau datang ke rumah Syaikh Abu al-Hasan al-Muzayyin. Setelah mengucap salam dan duduk bersama tuan rumah, beliau kemudian bilang bahwa dirinya adalah lelaki non-Arab yang ingin bertanya sesuatu ke tuan rumah.
“Silakan bertanya apa yang kau kehendaki,” kata Syaikh Abu al-Hasan al-Muzayyin kepada Syaikh Muammil al-Jashshash. “Apakah pemahaman itu bisa mengalami pendakian sebagaimana kemuliaan?” kata Syaikh Muammil al-Jashshash. Syaikh Abu al-Hasan al-Muzayyin tidak menjawab, tapi memandang beliau yang bertanya itu.
“Dari mana engkau?” tanya Syaikh Abu al-Hasan. “Dari Syiraz,” jawab Syaikh Muammil. “Engkau masyhur dengan sebutan apa?” tanya beliau lagi. “Dengan Muammil,” jawabnya lagi. “Silakan berdiri dari situ. Itu bukan tempatmu,” perintah Syaikh Abu al-Hasan. Beliau kemudian mendudukkan Syaikh Muammil di sisinya.
Sedemikian hormat Syaikh Abu al-Hasan kepada Syaikh Muammil. Keduanya semakin akrab. Keduanya semakin kelihatan saling bersenda gurau. “Engkau adalah lelaki non-Arab yang tidak bisa baca dan tulis,” kata Syaikh Abu al-Hasan. Lalu, beliau tertawa dengan renyah. Ada kebahagiaan yang luar biasa di wajahnya.
Setelah itu, jika ada seseorang yang mau bertanya tentang keilahian atau perkara keagamaan kepada Syaikh Abu al-Hasan al-Muzayyin, beliau langsung mempersilakan dia untuk bertanya kepada Syaikh Muammil al-Jashshash. “Bertanyalah kepada Syaikh Muammil itu, jangan bertanya kepada saya,” ucap Syaikh Abu al-Hasan.
Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif pernah menyatakan bahwa ketika masih kecil dulu, dia sudah niat untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Syaikh Muammil al-Jashshash kemudian bilang kepadanya bahwa “kalau engkau sudah sampai di ‘Arafah, maka datanglah engkau ke belakang gunung-gunung ‘Arafah. Carilah di sana wali-wali Allah. Karena di sana tempat mereka.”
Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif sampai di ‘Arafah. Beliau mencari para wali di balik gunung-gunung itu. Tak menemukan seorang wali pun. Dia takut. Ingin pulang rasanya. Tapi keinginannya untuk maju makin kuat. Taba-tiba di depannya dia melihat perkampungan. Ada dua puluh orang yang menundukkan kepala di sana. Dan di antara mereka adalah gurunya sendiri, Syaikh Muhammad al-‘Atayidi.
Mereka semua mengatakan kepada guru Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif: “Jagalah anak ini.” Dan setelah itu, seakan dari mulut mereka keluar huruf sin. Syaikh Abu ‘Abdillah mengira bahwa mereka sedang beristighfar. Dan setelah sampai di Muzdalifah, guru Syaikh Abu ‘Abdillah mengatakan: “Panggil teman-temanmu.”
Mereka dipanggil. Mereka berdatangan. Sementara para wali yang semula bersamanya, pergi ke Masy’ar al-Haram untuk shalat subuh. Setelah melaksanakan shalat subuh, mereka lenyap dari pandangan. Dan setelah itu, Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif tidak pernah melihat mereka lagi selamanya.
Perjumpaan dengan Syaikh Muammil al-Jashshash sungguh merupakan awal perjumpaan dengan para wali. Dan perjumpaan dengan mereka hakikatnya merupakan perjumpaan dengan Allah Ta’ala. Sungguh hal itu merupakan perjumpaan spiritual yang sangat menyenangkan. Sungguh merupakan kebahagiaan yang hakiki. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025
- Syaikh Abu al-Muzhaffar at-Tirmidzi - 24 January 2025