Syaikh Muammil al-Jashshash

Beliau adalah sebagaimana judul di atas, persis. Setidaknya itu menurut penelusuran saya terhadap kitab-kitab thabaqat yang berisi tentang biografi para sufi. Beliau termasuk sufi agung dari Syiraz, Iran. Beliau pernah menempuh perjalanan yang panjang ke Hijaz dan ‘Iraq.

Yang cukup mengherankan, utamanya bagi saya pribadi, dari beliau adalah ketidaksanggupan untuk membaca sekaligus menulis, tapi bersamaan dengan hal itu beliau adalah seorang sufi yang sangat mendalam dan indah ketika berbicara tentang ilmu tauhid, pengetahuan beliau begitu melimpah ruah mengenai makrifat kepada Allah Ta’ala.

Beliau adalah seorang sufi yang begitu lihai dan sekaligus sangat berkelas ketika menjawab berbagai persoalan Syaikh Sahl al-Ashfihani. Syaikh Sahl memang memiliki sejumlah persoalan yang sedemikian sulit tentang perkara keilahian, tapi ketika dihadapkan kepada beliau, berbagai persoalan itu menjadi begitu ringan dijelaskan oleh Syaikh Muammil al-Jashshash.

Di antara kebiasaan beliau yang senantiasa ditekuni adalah setiap selesai melaksanakan shalat subuh, beliau selalu menekuni mempelajari kandungan makna-makna Qur’an yang memang sudah dihafal. Sedemikian sibuknya beliau menyelami makna-makna Qur’an hingga sampai waktu dhuha. Beliau lantas melaksanakan shalat dhuha, lalu keluar dari masjid.

Salah seorang sufi pernah menceritakan bahwa pada suatu hari Syaikh Muammil al-Jashshash keluar dari masjid. Dia mengikuti beliau dari belakang hingga sampai di depan pintu rumahnya. Ternyata di sana sudah ada sekitar tiga ratus orang yang membutuhkan pertolongan beliau. Artinya adalah bahwa beliau merupakan seorang sufi yang sangat gemar menolong sesama.

Beliau berkata kepada seorang pelayannya: “Tolong ini semua sampaikan kepada orang-orang banyak di tempat ini dan tempat itu,” sembari menyebut nama-nama tempat. Sementara sufi yang mengikuti beliau tadi dari belakang masih tetap berada di sana. Tetap dalam kebingungan menyaksikan hal itu.

Beliau menoleh kepada si sufi itu dan berkata: “Wahai anakku, waktu subuh tadi kau menyaksikan aku menyelami samudra Qur’an di masjid. Dan sekarang aku berada di sini, tenggelam di dalam Allah Ta’ala. Waktu sekarang adalah kelanjutan dari waktu di masjid tadi pagi.” Si sufi yang menyimaknya masih terheran-heran, bagaimana mungkin beliau sangat efektif menggunakan waktunya.

Jika beliau sedang sibuk memberikan pertolongan pada seseorang, beliau tidak berbicara sama sekali dengan siapa pun kecuali sekadar menjawab sama dari seseorang yang mengucap salam kepada beliau. Dengan tegas beliau menyatakan bahwa seandainya menjawab salam itu tidak wajib hukumnya, maka beliau tidak akan pernah menjawab salam.

Pelajaran rohani apa yang bisa kita ambil dari beliau? Tidak bisa baca dan tulis sama sekali bukanlah merupakan halangan untuk bisa menyelami kandungan Qur’an. Justru Syaikh Muammil al-Jashshash bisa menjelaskan panjang lebar tentang makna hakiki yang dikandung di dalam Qur’an. Dan betapa banyak persoalan keilahian yang diselesaikan oleh beliau.

Dan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa beliau adalah seorang sufi agung yang sangat gemar membantu orang-orang yang susah dan mereka yang dirundung rasa butuh. Waktu beliau terbelah menjadi dua. Yakni, untuk Allah Ta’ala sedemikian hebatnya. Dan untuk manusia yang papa sedemikian getolnya. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!