Beliau adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Ali al-Hakim at-Tirmidzi. Salah satu dari sekian sufi agung. Bersahabat dengan Syaikh Abu Turab an-Nakhsyabi, Syaikh Ahmad bin Khadhrawih, dan Syaikh Ibn al-Jala’.
Beliau memiliki banyak karamah yang begitu nyata. Memiliki kitab antologi hadis. Memiliki banyak kitab karangan di dalam berbagai macam ilmu. Di antaranya adalah kitab Khatm al-Wilayah, kitab al-Manhaj, dan kitab Nawadir al-Ushul. Beliau juga menulis kitab Tafsir Qur’an. Tapi sebelum rampung, beliau keburu wafat.
Beliau bersahabat dengan seorang nabi paling misterius yang umurnya membentang hingga ribuan tahun dan sampai sekarang masih tetap hidup yang tak lain adalah Nabi Khidhir. Menurut Syaikh Abu Bakar al-Warraq, setiap hari Ahad Nabi Khidhir mengunjungi Syaikh Muhammad at-Tirmidzi. Mereka berdua terlibat komunikasi dan perbincangan tentang berbagai kenyataan.
Bersahabat dengan seorang guru dari Nabi Musa tentu saja merupakan penghormatan dari Allah Ta’ala kepada Syaikh Muhammad at-Tirmidzi. Hal itu juga menunjukkan kepada kita semua betapa sangat tinggi derajat rohani yang diduduki oleh sang sufi. Sampai-sampai ada pertemuan rutin di antara mereka berdua.
Sedemikian tinggi derajat spiritual beliau. Sedemikian kuat pula pengaruh rohaninya kepada orang lain. Sampai-sampai seorang sufi pengarang kitab Kasyf al-Mahjub yang sangat terkenal, Syaikh al-Hujwiri, memberikan testimoni yang begitu mencengangkan sebagaimana berikut ini: “Beliau adalah orang yang sangat agung bagiku. Sehingga hatiku senantiasa menjadi buruannya. Guruku itu merupakan permata yang terlampau indah. Tidak ada padanannya di alam raya.”
Untuk sampai pada kedudukan rohani yang menjulang dan bergengsi seperti itu, beliau mendasari laku spiritualnya dengan adanya tiga poin pokok sebagaimana berikut ini. Pertama, beliau senantiasa fokus terhadap Allah Ta’ala yang tidak pernah lepas sedikit pun dari menyaksikan seluruh makhlukNya.
Hal itu mengindikasikan bahwa bagi beliau, hadiratNya tidak lain merupakan yang terpenting untuk selalu mendapatkan perhatiannya dibandingkan dengan segala apa pun yang lain. Sampai di sini, janganlah kita sangka bahwa memperhatikan Allah Ta’ala dengan segenap kepatuhan adalah menguntungkan bagi hadiratNya. Sama sekali tidak. Justru yang terjadi malah sebaliknya: manusialah yang beruntung karenanya.
Kedua, beliau tiada henti bersyukur kepada Allah Ta’ala yang berbagai macam karuniaNya tidak pernah terputus dari dirinya. Bahkan dalam konteks yang jauh lebih luas, seluruh makhluk tidak ada yang tak tersentuh oleh rahmatNya. Karena wujud itu sendiri tak lain merupakan bagian terpenting dari karunia hadiratNya.
Bersyukur dalam konteks pengertiannya secara sufistik adalah memanfaatkan semua karunia sebagai kendaraan untuk merealisasikan rasa patuh kepada Allah Ta’ala dengan penuh kesungguhan dan ketulusan. Termasuk mensyukuri rasa patuh dan kenikmatan di dalam beribadah itu sendiri.
Ketiga, beliau terus-menerus merunduk kepada hadiratNya karena sadar bahwa dirinya, juga seluruh makhluk yang lain, tidak mungkin bisa lepas dari cengkeraman kuasa dan kemahaagungan Allah Ta’ala.
Dengan tiga poin yang merupakan fondasi spiritualitas itu, beliau melesat menuju kepada hadiratNya, laksana rajawali raksasa yang dengan gagah membelah angkasa raya. Betapa sangat mengagumkan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025
- Syaikh Abu al-Husin as-Sarki - 27 December 2024