Beliau adalah Sari bin Mughlis as-Saqati. Di samping sebagai paman, beliau juga merupakan guru rohani bagi Syaikh Junaid al-Baghdadi, juga bagi kebanyakan orang Baghdad. Beliau segenerasi dengan Syaikh al-Harits al-Muhasibi dan Syaikh Bisyr al-Hafi. Beliau murid Syaikh Ma’ruf al-Karkhi. Beliau wafat pada suatu pagi di hari Selasa tanggal 3 Ramadhan tahun 253 Hijriah.
Tentang kualitas spiritualnya yang begitu tangguh dan anggun, salah seorang murid yang sekaligus ponakannya, Syaikh Junaid al-Baghdadi, memberikan kesaksian: “Aku tidak melihat siapa pun yang lebih tekun beribadah dibandingkan dengan Syaikh Sari as-Saqati. Selama tujuh puluh tahun, beliau tidak pernah berbaring kecuali ketika menjelang wafatnya.”
Kesaksian Syaikh Junaid al-Baghdadi tentang keunggulan spiritualitas beliau tentu saja merupakan kesaksian yang sangat kredibel. Tidak mungkin bercampur dengan kebohongan atau pengkultusan yang berlebihan. Apa yang diungkapkannya pastilah merupakan salinan langsung dari realitas yang disaksikannya.
Di dalam kesaksian itu, betapa sangat nyata kesungguhan dan totalitas beliau di dalam memfokuskan diri terhadap Allah Ta’ala. Bayangkan, selama 70 tahun, dalam durasi waktu yang betul-betul tidak sebentar itu, beliau senantiasa berada di dalam sebuah kondisi rohani yang sangat prima sehingga apa yang lazim dilakukan banyak orang, yaitu berbaring, ditinggalkannya demi menuntaskan tawajjuh yang selalu berkobar kepada hadiratNya.
Kenapa beliau memiliki energi spiritual yang lebih dibandingkan dengan para sufi yang sezaman dengannya? Itu tak lain karena beliau memiliki kobaran api cinta yang dahsyat terhadap Tuhannya. Cinta ilahiat telah memberinya energi yang tidak kepalang tanggung. Dan semakin tinggi kualitas cinta itu, maka akan semakin tinggi pula volume energi rohani tersebut.
Bagi kebanyakan kita, tentu terlampau berat model praktik ibadah yang ditekuni oleh beliau. Bahkan mungkin bisa dibilang mustahil untuk kita terapkan. Tapi pasti tidak berat untuk beliau. Bahkan mungkin malah sangat digandrungi dan dinikmati walaupun kelihatannya secara lahiriah sungguh sangat berat.
Di hadapan seorang sufi seperti beliau, kebahagiaan dan kesedihan secara lahiriah pasti sudah lama terhempas. Sebab, beliau sudah bermukim secara kukuh di kedalaman samudera ketauhidan di mana Allah Ta’ala menjadi satu-satunya orientasi dan segala yang lain dipandang hanya sebagai himpunan ketiadaan.
Pernah pada suatu hari Syaikh Junaid al-Baghdadi datang ke rumah beliau. Pada saat itu, beliau sedang menyapu rumahnya sembari bersenandung:
لا في النهار ولا في الليل لي فرح
فلا أبالي ا طال الليل ام قصرا
“Baik di waktu siang maupun di malam hari, aku senantiasa berbahagia. Maka aku tidak peduli, apakah malam akan membentang panjang atau tidak.”
Bagi seorang sufi besar seperti beliau, pergantian sekaligus perjalanan waktu sama sekali tidak memberikan ekses apa pun. Karena sudah jelas bahwa beliau tertanam kukuh di Allah sekaligus menjulang tinggi di hadiratNya pula. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Qasim al-Muqri - 11 October 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah Al-Muqri - 4 October 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah al-Maula - 27 September 2024