Beliau adalah seorang sufi yang dikenal sebagai pecinta Ilahi yang ulung dan tangguh. Bahkan beliau juga disebut sebagai imam dan pemuka cinta. Beliau sebagai satu-satunya orang yang paling cemerlang di bidang cinta pada zamannya. Seluruh kata-kata dan tindakannya berhiaskan kemilau pernik-pernik cinta.
Sufi yang sezaman dengan Syaikh Junaid al-Baghdadi dan Syaikh Nuri itu suatu hari pernah menyatakan: “Cinta itu tidak akan bening dan jernih sehingga engkau memandang seluruh alam raya ini dengan pandangan yang menyepelekan.”
Cinta itu merupakan sifat Tuhan. Dengan kemampuan yang terbatas, orang-orang yang beriman senantiasa berusaha untuk membetotkan cinta ilahiat di dinding-dinding hati mereka agar sifat dan perilaku mereka tampil di dalam kehidupan ini sebagai cerminan dari sifat dan perilaku hadiratNya.
Akan tetapi menjadi jelas bahwa cinta ilahiat itu tidak bisa serta-merta bertahta di dalam diri seseorang sebelum dia memiliki kesiapan untuk menampung dan menjaganya. Dan kesiapan menampung itu tak lain adalah membersihkan hati dari segala hasrat yang dominan atau berlebihan kepada segala sesuatu yang selain hadiratNya.
Sedang kesiapan menjaga cinta ilahiat itu adalah dengan memagari istana rohani bernama hati agar tidak diserimpung oleh berbagai penyakit yang bisa menjadikannya kerontang dan mati. Seperti iri, dendam, sombong, dengki, dan lain sebagainya.
Tinggal satu hal lagi. Yaitu, bagaimana seseorang yang dari kedalaman batinnya itu telah tumbuh pohon cinta sanggup memandang apa pun hanya Allah Ta’ala sebagai tumpukan segala sesuatu yang sepele, bahkan sangat sepele. Karena sesungguhnya memang hanya Allah Ta’ala semata yang betul-betul penting dan agung. Di saat itulah cinta ilahiat itu akan menjadi jernih dan bening. Tak bercampur lagi dengan asap nafsu dan kabut angan-angan. Juga bebas dari halimun pamrih, baik dalam kehidupan di dunia ini maupun pada kehidupan abadi di akhirat nanti.
Dengan gemuruh cinta ilahiat yang jernih dan bening itu, pernah suatu hari Syaikh Sumnun duduk di tepi Sungai Tigris. Sambil memukulkan tongkat ke pahanya hingga berdarah, beliau membacakan bait-bait puisi berikut ini dalam kondisi merdeka dari apa pun, termasuk dirinya sendiri:
“Aku pernah memiliki hati yang menjadi tumpuan hidupku. Kini ia telah lepas dariku dengan pengembaraannya. Tuhan, tolong kembalikan hatiku padaku. Sungguh dadaku jadi ringsek lantaran mencarinya. Wahai Sang Penolong, selama aku masih bernapas, tolonglah aku.”
Itulah gambaran tentang orang yang hatinya telah mabuk pada Allah Ta’ala. Ia telah lengket dengan hadiratNya. Oleh cinta dan karena cinta semata. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Husin al-Harawi - 17 January 2025
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025