Tema yang digarap Navis untuk cerpen Robohnya Surau Kami adalah mengenai salah satu ajaran Islam yang berbunyi: kerjakanlah duniamu seolah-olah kau akan hidup selama-lamanya, kerjakanlah akhiratmu seakan-akan kau akan meninggal esok hari… Itulah sebabnya, mengapa Robohnya Surau Kami ini merupakan cerpen dunia-akhirat, walaupun kedengarannya berlebih-lebihan.
(Soewardi Idris, 1994)
Judul cerita pendek sering teringat dan dikutip dengan perubahan kecil untuk sekian tulisan adalah Robohnya Surau Kami. Judul itu keren dan mengena. Cerpen mendapat pujian dan kritik pedas, dari masa ke masa. Pengarang cerita itu Ali Akbar Navis (17 November 1924-22 Maret 2003). Sejak masa akhir 1940-an, ia tekun membaca dan mulai mengimpikan jadi pengarang. Semula, ia menggubah puisi berdalih gampang dan singkat. Pada tahun-tahun berbeda, ia tergoda di penulisan cerita pendek. Ikhtiar tak gampang. Ia gampang terkena macet dan “kesialan”. Penolakan demi penolakan puluhan cerita pendek pernah dikirimkan ke pelbagai majalah menjadikan Navis tabah dan bergairah.
Sejak kecil, ia gandrung buku. Pada saat di sekolah rendah, Navis menempuhi perjalanan cukup jauh (Kayutanam-Padangpanjang) menumpang kereta api. Jam-jam di perjalanan dan menunggu, ia membaca buku dan majalah. Ia hidup di tempat-tempat memiliki buku dan majalah. Pada kios persewaan buku milik kerabat, Navis sering meminjam buku-buku cerita, termasuk komik. Di rumah, bapak berlangganan majalah Pandji Islam dan Pedoman Masjarakat. Bocah itu mengalami hari-hari buku, hari-hari bacaan.
Navis dalam buku Proses Kreatif II (1982) dengan editor Pamusuk Eneste mengakui: “Demikianlah, ketika membaca cerita-cerita yang menjadi hobi pada mulanya, telah menimbulkan keinginan saya untuk menjadi pengarang pula. Karena ketika itu saya kira tidaklah sulit untuk menulis sebuah cerita. Saya beli buku tulis yang tebal. Mulailah saya menulis sebuah roman. Tetapi baru beberapa halaman saja saya menulis, terasalah bahwa menulis cerita tidaklah semudah membacanya. Waktu itu saya masih di sekolah rendah.” Kita membaca episode bocah terasa mengandung keberanian, kesemberonoan, dan “kesombongan”. Gelagat jadi pengarang sudah dimulai dengan buku tulis, menanti waktu lama mewujud.
Tahun demi tahun berlalu, Navis bertumbuh dewasa. Ia bersiasat untuk menjadi pengarang. “Kesombongan” masih berlaku. Ia cenderung memuji teks-teks sastra asing ketimbang teks sastra gubahan para pengarang Indonesia. Pada masa 1950-an, ia di pergaulan sastra dunia seperti menuruti nasihat HB Jassin. Pelbagai terjemahan sastra asing mulai terbit di Indonesia bersaing dengan sastra gubahan orang Indonesia. Terjemahan sastra dimuat di majalah atau terbit sebagai buku. Navis menjadi pembaca bermutu dan “menghakimi”.
Navis berdalih: “Cerpen-cerpen yang dimuat di majalah Kisah itu menjadi bahan studi bagi saya. Cerpen-cerpen dari pengarang Indonesia jadi bahan studi untuk mencari kelemahannya. Umumnya cerpen yang ditulis pengarang Indonesia banyak mengandung kelemahan…. Sedangkan cerpen-cerpen asing yang diterjemahkan menjadi bahan studi untuk mengetahui kekuatan-kekuatannya. Sebab setiap cerpen asing yang diterjemahkan, pada umumnya cerpen-cerpen dari pengarang terkenal, serta cerpen-cerpen yang diterjemahkan itu adalah cerpen-cerpennya yang terbaik.” Siasat itu menentukan gairah menulis cerita pendek untuk dikirimkan ke majalah-majalah bergengsi: Mimbar Indonesia dan Kisah. Ia pun mengirim cerita pendek ke majalah-majalah hiburan: Roman, Waktu, dan Aneka.
Pilihan Navis dalam menentukan siasat dan kemauan menulis cerita terbukti dengan pemuatan sekian cerita pendek di pelbagai majalah dan menerbitkan buku-buku. Ketenaran paling teringat tentu gara-gara cerita pendek berjudul Robohnya Surau Kami. Cerita pendek itu digenapi sekian cerita pendek lain terbit jadi buku berjudul sama, terbit dan sering cetak ulang, sejak 1966. Pada 2006, buku berjudul Robohnya Surau Kami edisi terbitan Gramedia Pustaka Utama sudah cetak ulang ke-13. Di pelajaran sastra atau arus kritik sastra, cerita pendek gubahan Navis itu sering jadi pilihan untuk menjelaskan puncak-puncak penulisan cerita pendek di Indonesia, dari masa ke masa. Navis tak cukup menjadi pengarang cerita pendek. Ia pun menggarap novel. Kita mencatat ada novel berjudul Kemarau (1967) dan Saraswati, Si Gadis dalam Sunyi (1970). Navis itu pemikir menghasilkan buku penting di studi ilmu sosial. Ia menulis buku berjudul Alam Terkembang Jadi Guru (1984). Kita semakin mengenali dan menghormati Navis dalam memajukan dan mengisahkan segala hal mengenai Minangkabau. Persembahan bagi bocah-bocah adalah buku berjudul Cerita Rakyat dari Sumatra Barat (1994).
Kini, Navis tercatat sebagai pengarang besar. Pengakuan lumrah meski Navis pernah mengalami resah berbahasa dalam menulis puluhan cerita pendek. Navis menjelaskan tak lancar berbahasa Indonesia. Ia jarang bergaul dengan orang-orang berbahasa Indonesia selama di kampung-kota halaman. Pada masa 1950-an, bahasa Indonesia sedang mengalami pembentukan dan pemajuan. Navis ada di arus belum jelas. “Sehingga, ketika saya menulis, saya berpikir dalam struktur bahasa Minangkabau, lalu menuliskannya ke bahasa Indonesia,” pengakuan Navis. Hal serupa mungkin juga dialami sekian pengarang dengan latar Minangkabau, Sunda, Batak, atau Jawa. Navis mampu mengurusi dan menanggulangi sulit sampai ke persembahan cerpen-cerpen mumpuni.
Penentu kebesaran Navis dalam kesusastraan modern di Indonesia adalah Robohnya Surau Kami. Ia mengenang 1956 saat membeli dan membaca majalah Kisah. Navis (1994) ingat: “Majalah ini selalu mengumumkan dan memberi hadiah cerpen-cerpen terbaik dari yang dimuat setiap tahun. Saya membaca pengumuman. Tiga cerpen dipilih menjadi cerpen terbik dan memperoleh Hadiah Sastra Majalah Kisah untuk tahun 1955. Yakni cerpen Kejantanan dari Sumbing (Subagio Sastrowardoyo), Dua Dunia (Nh Dini), dan cerpen saya Robohnya Surau Kami. Urutannya seperti itu. Tidak ada disebut nomor satu, dua, atau tiga.” Navis girang tanpa ungkapan berlebihan. Penanda sejarah bersastra sudah mendapat pengakuan nasional.
Cerpen itu membentuk pula sejarah Indonesia berkaitan pendidikan, religisositas, pergaulan sosial, dan lain-lain. Tahun demi tahun, nama Navis selalu terbaca di cerita pendek Robohnya Surau Kami. Cerpen bakal terus terbaca dan ditafsirkan sampai abad XXI. Di buku berjudul Otobiografi AA Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah dengan editor Abrar Yusra terbaca: “Apalagi karena isyarat-isyarat zaman bahwa kian diperhatikannya nilai-nilai humanisme dan religi di masa depan. Cerpen itu konon adalah salah satu karya sastra klasik modern Islam dengan warna Indonesia. Entahlah.” Biografi Navis di kesusastraan tak pernah roboh meski ia mengenalkan “roboh” sebagai cerita memikat dan memungkinkan lacak sejarah peradaban dan ejawantah keagamaan masa lalu.
Gus Dur (1992) memuji kepengarangan Navis dan sekian teks sastra telah diterbitkan untuk bacaan kaum sastra di Indonesia. Persembahan sastra dari Navis: “menjadi bahan dokumentasi sosial yang sangat berharga dalam perkembangan sastra kita.” Kita melulu mengenali Navis di sastra. Ia pun pernah menempuhi jalan pemikiran, pendidikan, dan politik. Pujian Gus Dur menguatkan anggapan bahwa Navis tak menghabiskan hidup cuma membaca dan menulis saja. Navis berada di pelbagai situasi untuk mengerti dan mengisahkan Minangkabau dan Indonesia.
Navis memiliki biografi “beruntung”, bermula dengan buku dan majalah sejak bocah. Ia berada di tempat memuliakan cerita untuk dituliskan di kertas-kertas dan tercetak di majalah atau buku. Navis, nama besar tak mau “roboh” dalam peta sastra Indonesia. Ia berada di kedudukan terhormat jika kita membentangkan persembahan teks sastra para pengarang berasal dari Minangkabau, sejak masa 1920-an sampai sekarang. Pada abad XXI, cara kita menghormati Navis adalah membaca pelbagai buku terus cetak ulang dengan kemasan-kemasan apik. Navis masih ada di toko buku dan rak perpustakaan. Navis dan sekian buku pun masih dijadikan sumber kutipan. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022
Tigo W
Setelah membaca artikel ini, saya teringat bahwa dulu semasa SMA sering saya jumpai buku Robohnya Surau Kami di perpus sekolah. Saya sering melihatnya (karena memang ada banyak eksemplar), namun karena sampul yg saya rasa terkesan kuno dan penulisnya kurang ‘dikenal’ anak remaja jadilah saya tak pernah menyentuh buku itu. Sekarang jadi pengen baca😌
Anonymous
Kayaknya kru Basabasi sedang pada mudik, atau cuti bersama 😂
Anonymous
Mungkin. Sampai-sampai kalimat dalam artikel ini banyak yang kacau. Atau mungkin memang gaya penulisan penulisnya? 😩
Anonymous
Kalau rutin membaca rubrik Memorabilia dan Tokoh yang sudah menjadi rubrik tetap di media ini, Anda akan mengenali “kekacauan” ini sebagai gaya tulisan khas dari Bandung Mawardi.