Tabe’ Antu

gambar untuk cerpen mitos
Sumber gambar etsystatic.com

Desa Panji, Kenegerian Sei Batang, beredar mitos bahwa di antara Desa Kubu dan Desa Panji, Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam Sumatera Barat, ada sebuah empang berhantu yang dinamai Tabe’ Antu. Walaupun tabe’ tersebut banyak ikannya lagi besar-besar tetapi tidak ada yang berani menangkapnya, apalagi menyantapnya. Tabe’ tersebut merupakan tempat membuang mayat ketika zaman perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan dahulu. Kisah turun-temurun ini, sampai sekarang masih menyimpan misteri, sehingga banyak orang yang tidak berani mendatanginya. Di waktu siang hari keadaannya cukup membuat merinding, begitu pula saat malam tiba.

***

Seorang laki-laki bertubuh besar pulang dari perantauan. Ia berkutat akan kerasnya hidup di kota, dengan harapan mengubah nasib menjadi lebih baik. Alhasil, ia gagal bersaing di ibu kota yang kata sebagian orang lebih kejam dari ibu tiri.

Badu, pemuda berusia 23 tahun yang amat rindu bermain di kampungnya, sengaja berkeliling desa. Tak nyana, ia bertemu dengan salah seorang temannya, yaitu Iril. Mereka berbincang-bincang sejenak, melepas rasa rindu lama tidak bertemu.

“Apa, Du?” Iril terperangah akan ucapan sahabatnya itu yang akan tinggal di kampung kembali.

“Jadi maksudmu, kamu akan menetap lagi di kampung hanya karena kalah di perantauan?” lanjut Iril. Laki-laki berkulit putih pucat itu tak percaya.

“Kalau aku bosan dengan rasa sepi kampung kita ini, aku akan merantau lagi.” Badu merangkul tubuh jangkung itu. “Kita berbincang sambil jalan, yo!” ajak Badu.

“Ayo, Du!” ucap Iril menyetujuinya.

“Ngomong-ngomong, kau terlihat lebih putih kini. Pasti kau tidak pernah pergi ke ladang, lebih banyak di dalam rumah,” canda Badu pada laki-laki yang hanya menanggapi dengan senyuman.

Tidak banyak perubahan di tempat ini semenjak Badu merantau hingga ia kembali ke tanah kelahirannya. Banyak hamparan tanah yang telah ditanami berbagai tanaman untuk dipanen. Jalanannya pun masih tanah merah. Begitu pun dengan persahabatan antara Badu, Ucin, dan Iril yang terjalin saat mereka sama-sama belajar mengaji dengan Datuk Mangkuto. Hanya saja, Badu belum sempat bersua dengan Ucin. Tapi, beruntung sekali, ia telah bertemu dengan Iril sehingga rasa rindu kampung halaman dapat terobati.

Mereka menjelajahi hutan kecil di bilangan lereng Gunung Singgalang. Hutan ini masih asri, hanya sedikit gelap walau siang ini matahari masih memancarkan cahaya benderangnya. Desiran angin yang membawa kesejukan masih dapat dirasakan Badu. Aroma tanah dan khas hutan menjadi salah satu obat bagi pemuda yang sendirian di kampung. Badu tidak memiliki sanak saudara. Kedua orang tuanya telah menghadap Yang Kuasa. Mamaknya pun telah merantau ke kota lain, sehingga seorang diri sajalah Badu tinggal di rumah.

Kedua sahabat itu mengikuti jalan setapak yang penuh dengan rumput. Badu yang melihat keadaan itu merasa bahwa tempat ini sudah lama tidak pernah dijejaki, seakan baru mereka saja yang melintas tempat ini. Mereka terus melangkah hingga sampailah di lokasi yang sangat hening.

Badu amat heran melihat kubangan besar yang sepi dari masyarakat. “Kenapa ikan-ikan ini tidak ada yang mengambil, Ril?” Dengan jelas, laki-laki bertubuh besar itu melihat banyak ikan yang besar-besar di tabe’ tersebut. “Sayang kali kalau tidak dipancing, bukan?”

“Jangan, Du. Tabe’ ini berhantu. Ikan itu pun mungkin ikan hantu. Jangankan untuk menyantap ikan menyeramkan itu, selama ini tidak ada yang berani memancingnya,” kata Iril dengan suara bergetar.

Badu tertawa mendengar kata-kata laki-laki jangkung itu yang terdengar mistis. “Ah kau ini, Ril. Manalah ada tabe’ berhantu, apalagi ikan hantu.” Badu mengibaskan tangannya. “Hahaha, aku tidak percaya, Ril. Aku akan memancingnya besok, lihat saja.”

“Sebenarnya, aku amat takut ke sini.” Wajah pucat Iril semakin jelas terlihat. “Tapi, karena kita menyusuri hutan ini, tidak sadar kita telah sampai di sini.”

Badu melihat ke arah temannya itu. Namun ia hanya tersenyum sinis.

“Jangan kau teruskan niatmu itu, Du, nanti kau tasapo antu tabe’,” tutur Iril yang tampak ketakutan.

Hawa dingin di dalam hutan ini tidak membuat rasa takut pada diri Badu. Ia tidak mempedulikan peringatan temannya tersebut.

“Tenang saja, Ril. Walaupun saya sudah merantau selama lima tahun, tapi kan saya tetap orang kampung ini. Sudah mengenal dengan baik lingkungan kita ini.” Badu terus memerhatikan tabe’ tersebut. “Sepengetahuanku, tabe’ ini tidak berhantu. Baru beberapa tahun kutinggalkan, masa dia bisa berhantu?”

“Susah juga bicara dengan orang yang sudah pernah ke kota. Terserah padamu sajalah. Aku sudah memperingatkan kamu. Kalau terjadi apa-apa jangan salahkan aku.” Iril mengangkat kedua bahunya.

Keesokan harinya, Badu yang sering memancing di Danau Maninjau menyimpan beberapa joran pancing. Ia membawa salah satu joran berwarna cokelat dan mencari cacing untuk umpan. Setelah sarapan, remaja itu berangkat sendirian ke Tabe’ Antu sambil bersiul-siul.

Di tengah jalan, dia bertemu dengan Datuk Mangkuto, salah satu petinggi kampung yang amat disegani, sekaligus guru mengajinya ketika kecil dahulu. Beliau melihat gelagat pemuda itu. Lekas saja, beliau berkata sebelum Badu menyapanya.

“Lebih baik, kau pulang saja ke rumah atau pergi ke tempat lain. Janganlah ke sana!”

Badu yang mendengar ucapan tersebut hanya dapat tersenyum. Ia mencium takzim tangan Datuk dan memberikan salam. “Assalamu’alaikum, Datuk.”

Datuk Mangkuto menangkap bahasa tubuh Badu yang sepertinya tidak akan menggubris peringatannya. “Wa’alaikum salam. Pergilah ke tempat lain! Tak ada yang akan kau dapat sepulang dari sana, kecuali peninggalan sisa kesedihan.”

Sesaat Badu terdiam. “Saya hanya ingin ikan itu,” jawab Badu.

“Sekali lagi, pergilah! Jangan ke sana!” Suara Datuk terdengar sangat menyayat hati.

Semakin keras aku dihalangi maka aku semakin ingin ke sana, batin Badu.

Datuk Mangkuto hanya dapat menggelengkan kepalanya, kemudian berlalu dari hadapan Badu dengan paras yang berduka. Pemuda itu tetap melanjutkan perjalanannya. Jarak yang cukup jauh bukan penghalang baginya. Ia ingin mematahkan mitos yang didengarnya dari Iril dan menjawab rasa penasarannya terhadap larangan Datuk.

Setelah sampai di lokasi, ia mendapat tempat yang cukup baik. Badu melihat ikan-ikan tersebut saling berkejar-kejaran. “Alangkah besarnya ikan-ikan itu. Seekor saja cukup untuk dua hari, apalagi kalau dapat dua atau tiga ekor, wah senangnya aku,” ucap Badu. Berkali-kali ia menelan ludah.

Badu melemparkan mata kailnya dengan harapan ikan-ikan tersebut memakan umpannya. Dia duduk di pinggiran tabe’ yang berada dekat dengan pepohonan sehingga memudahkannya untuk bersandar. Semilir keheningan tidak menyurutkan semangat Badu untuk menunggu dengan sabar.

Setelah beberapa lama menunggu, hewan berinsang itu tidak lagi terdengar sedang berlarian. Tidak ada yang memakan umpan kailnya. Kesunyian yang datang sangat mencekam. Batang-batang pohon seperti hendak menerkam mangsanya. Namun dedaunan berayun mengikuti arah angin dengan embusan mengerikan. Sayangnya, embusan angin itu terasa menyejukkan bagi pemuda itu. Badu tertidur dengan nyenyaknya.

Hari menjelang petang. Entakan dalam tabe’ membuat Badu terbangun, ternyata umpan di mata kailnya sudah ada yang memakan. Dengan girang, Badu menyentakkan jorannya agar ikan tidak lepas. Perlahan laki-laki bertubuh besar itu menarik tali pancingnya. Seekor ikan mas sebesar betisnya menggelepar-gelepar di mata kailnya.

“Hore, aku dapat!” seru Badu dengan senangnya. “Besar pula, mungkin ada lima kilo beratnya.” Ia timang-timang hewan berinsang yang menatap ke arahnya dengan penuh kesakitan dan kebencian.

Walaupun hanya dapat seekor, Badu bergegas kembali ke rumah untuk segera meletakkan ikan mas tersebut dalam wadah yang berisi air. Ia berniat untuk menyantapnya esok hari.

Malam yang semakin cepat berlari menggerus zaman. Rumah-rumah kembali pada keheningan malam, membawa kehidupan itu ke alam bawah sadar. Tak ternyana, ketika Badu tidur, ikan itu mendatanginya melalui mimpi. Hawa panas menyiratkan rasa kesal yang membara.

Makhluk air itu berdiri dengan tegak dan berkata sambil membelalakkan mata, “Hai Badu, kembalikan aku ke tempatku. Kalau tidak, rasakan nanti!”

Lekas sekali Badu terbangun dari tidurnya. Sepasang mata itu seakan-akan berada di dalam kamarnya. Badu beranjak dari tempat tidurnya menuju dapur. Mata tersebut seperti terus mengikutinya. Segera ia melihat ikan yang diletakkannya dalam ember.

“Tidak berubah. Aku hanya bermimpi. Macam mana ada ikan bisa bicara seperti manusia.” Badu menggelengkan kepala. Namun dalam sekejap pandangan. “Ba-bayangan apa itu?” Bulu kuduknya berdiri. Ia nyaris saja terjatuh. Ia mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Dingin. Ia ambil kursi di sebelah ember itu, untuk duduk sejenak seraya memejamkan mata.

“Bayangan itu seperti seekor… apakah yang dikatakan Iril itu benar adanya? Ikan hantu? Ah, tidak!”

Dengan berani, ia menatap lekat-lekat seluruh ruangan. Tak ternyana, rumah panggung ini berguncang cukup kencang. Ia merasa seperti mata itu masih memerhatikannya. Guncangan pun berhenti.

“Ah, tidak apa-apa, ini gempa biasa,” ucap Badu menenangkan diri.

Adzan subuh berkumandang. Badu beranjak dari kursinya menuju kamar mandi untuk berwudhu. “Siapa itu?!” Bayangan tersebut tampak kembali di sudut kamar mandi. Sekejap kedipan matanya, bayangan itu hilang. Walau sedikit menggigil, Badu melihat kembali hewan berinsang di dalam ember. Tidak berubah. Tak ada mata yang membelalak menakutkan seperti dalam mimpinya. Badu merasa tenang.

Selesai shalat Subuh, Badu memasak ikan itu. Ia menggorengnya hingga tercium aroma sedap. Harum masakan membuatnya lupa akan kejadian subuh tadi. Lekas ia letakkan dalam wadah dan membawanya ke meja makan. Setelah nasi ditangkupkannya di atas piring, ia alihkan pandangan pada piring yang satunya berisi goreng ikan itu.

“Iril hanya menakut-nakutiku dengan ceritanya yang tidak masuk akal.” Badu menikmati sarapannya dengan sukacita. “Tasapo aruah, tabe’ antu. Ah, takhayul! Nih buktinya aku menyantap makanan gurih ini tidak terjadi apa-apa. Aku akan menceritakan ini padanya saat berjumpa nanti.” Ia makan dengan lahap hasil pancingannya itu hingga menyisakan tulang-tulangnya saja.

Selesai makan, Badu pergi mencari Iril di tempat biasa mereka bermain. Namun tidak ditemuinya. Justru, ia bertemu dengan sahabatnya yang satu lagi.

“Hai Du, engkaukah itu!” seru Ucin.

Badu menyambut jabat tangan itu. “Ucin, bagaimana kabarmu?”

“Baik. Sudah jadi orang hebat rupanya. Kapan kau datang, Du?”

“Tiga hari yang lalu. Ke mana saja kau kemarin?”

“Mengapa kau tidak langsung ke rumahku? Tapi, kenapa sudah pulang, baru lima tahun kau di Jakarta?”

“Di rantau susah cari uang, apalagi aku tidak punya kerabat di sana. Tidur saja aku ikut sama kawan. Tapi lama-lama aku merasa tidak enak.” Badu memerhatikan sahabat yang seumuran dengannya itu tanpa ada perubahan apa pun. “Cari kerja di sana gampang. Tapi, duitnya hanya cukup untuk makan. Bagaimana untuk beli yang lainnya?”

“Hahaha, itulah Du, kalau merantau hanya modal nekat. SD saja kau tidak tamat.” Ucin tertawa terbahak-bahak.

“Sudahlah, tak perlu kau teruskan gurauan itu.”

Ucin mengangkat kedua tangannya, tanda maaf. Ia tahu sahabatnya ini sedikit emosional bila mengungkit masalah sekolah.

“Apakah kau melihat Iril?”

“Iril?” Ucin tidak mengerti dengan ucapan Badu.

“Iya. Dua hari yang lalu kami bertemu lalu jalan-jalan mengelilingi kampung hingga ke Tabe’ Antu yang katanya….”

“Iril katamu, Du? Kau jalan dengannya ke Tabe’ Antu? Yang benar kau kalau bicara Du?!”

“Aku bicara benar. Kenapa?”

“Kau belum tahu bahwa Iril telah meninggal dua tahun yang lalu?”

“Kau bohong?”

“Aku tidak bohong! Apa perlu kau kuantar melihat makamnya?”

“Iril, su-sudah meninggal?” Badu masih tidak percaya. “Ja-jadi, si-siapa yang menemaniku jalan-jalan kemarin?” ucap Badu terbata-bata.

Ucin menenangkan sahabatnya itu, kemudian menceritakan bagaimana laki-laki jangkung itu mendapatkan ikan, lalu ditemukan tidak bernyawa di rumahnya.

“Iril meninggal karena makan ikan dari Tabe’ Antu?” Badu tampak ketakutan, karena apa yang dilakukan Iril, dilakukannya pula. Peluh siap mengalir lembut di tubuhnya. Namun, ia merasa ada yang berbeda. “Aku tak percaya. Aku telah memakan ikan yang aku pancing dari tabe’ itu, tapi tidak merasakan apa-apa! Cuma yang aneh bagiku adalah siapa yang—”

“Yang menemanimu jelas hantunya si Iril, Du!” sergah Ucin.

Sekonyong-konyong, Badu meringis kesakitan. Perutnya menegang. “Ucin, aduh perutku!”

“Kenapa kau, Du? Pucat kali wajahmu.”

Seluruh tubuh Badu bermandikan peluh. “Perutku seperti ditusuk-tusuk jarum.”

“Ayo aku antar ke balai desa. Di sana ada Kati’ Bandaro.”

Ucin memapah Badu yang jalan terbungkuk-bungkuk menuju balai desa yang hanya berjarak dua ratus meter. Sepanjang jalan, Badu merintih. Untung bagi mereka karena Kati’ Bandaro sedang berada di tempat.

Mantri desa ini segera memeriksa keadaan Badu. “Kau tidak apa-apa, Du. Tidak ada yang salah dengan perutmu.”

“Tapi, Angku, perutku sakit sekali. Aduh!” Badu kembali merintih.

“Apa yang kau makan?” tanya Kati’ Bandaro.

“Dia makan ikan dari Tabe’ Antu, Angku.” Ucin menjelaskan.

“Kalau begitu cepatlah kalian temui Angku Datuk Mangkuto, insya Allah beliau yang dapat menyembuhkannya,” saran pria paruh baya itu.

Dengan sigap kedua sahabat itu beranjak pergi ke rumah Datuk Mangkuto. Di tengah jalan, Badu melepaskan tangan Ucin dari pundaknya. Tubuh laki-laki berusia dua puluh tahun itu menegang. Ia berdiri tegak, kemudian doyong ke depan seperti hendak jatuh. Keseimbangan tubuhnya menahan wajahnya untuk tidak menyentuh tanah. Badu kembali berdiri dan berjalan lagi.

Ucin heran melihat keadaan sahabatnya yang menderita sama seperti Iril. Inilah akibat melanggar pantangan Tabe’ Antu, batin Ucin. Ucin kembali memapah Badu.

Sesampainya di rumah Datuk, mereka tidak menemukannya karena Datuk sudah pergi ke ladang. Tak ingin memaksakan keadaan Badu, Ucin sendiri menyusul Datuk Mangkuto, dan membiarkan Badu menunggu.

Meskipun lelah akibat jarak yang jauh menuju ladang, lalu kembali lagi membawa Datuk Mangkuto, Ucin masih berharap agar ia tidak lagi kehilangan sahabatnya. Sesampainya di tempat, kedua orang itu tidak melihat Badu.

“Di mana Badu, Ucin?” tanya Datuk Mangkuto.

“Tadi aku suruh menunggu di sini, Angku, entah ke mana dia sekarang,” jawab Ucin.

Datuk Mangkuto tampak cemas, ia meminta bantuan orang-orang sekitar untuk mencari Badu. Rumah Datuk Mangkuto cukup besar dengan pekarangan rumah yang luas. Mereka mencari di setiap tempat, baik itu di dalam rumah Datuk, kolam ikannya, lumbung padi, dan tempat-tempat lain.

“Angku! Angku, di sini!” teriak Ucin dari kolong rumah Datuk.

Orang-orang berlarian ke arah suara Ucin, dan mendapatkan Badu sedang merintih sambil menekan perutnya. Peluh membasahi wajah pucatnya, dan dari mulutnya keluar busa. Orang-orang mengeluarkan tubuh Badu dari kolong rumah. Saat Datuk Mangkuto hendak menyembuhkannya, tubuh yang telah membiru itu mengembuskan napas terakhir. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

AR Kelana
Latest posts by AR Kelana (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!