Tak Usah Ajari Bebek Berenang

pixabay.com

Kegarangan-kegarangan anarkisme Mikhail Bakunin yang sedang diidolakan oleh anak muda seyogianya tak perlu menjadikanmu resah hingga tak lagi nyenyak lelap hanya karena kau bayangkan bebek muda harus berenang dengan cara renang yang baik menurutmu.

Percayalah, anak bebek akan berenang dengan sendirinya sebagaimana mestinya ia adalah bebek. Tak perlu kau ajari bebek berenang. Ia telah given untuk menjadi bebek. Bebek adalah bebek sang perenang yang ulung.

Ihwal given-nya mesti melalui proses-proses yang tak benar-benar sama denganmu, atau bahkan tak pernah sama hingga kau memungkasi layar hidupmu, percayalah pula bahwa itu semata dinamika-dinamika. Proses menjadi. Akhirnya, pun akan menjadi.

Sebuah proses mekanisme ekuilibrium.

Setiap orang akan menempuhi dinamika-dinamikanya. Seperti, dinamika jatuh cinta. Cinta yang akan menyumbangkan bentuk-bentuk, lalu berekuilibrium dengan tatal-tatal bentuknya yang telah ada dan akan ada lainnya—waktu lantas mengidentifikasikannya begitu atau begitu dan seterusnya.

Maka, tak usahlah terlampau sinis pada cinta atau begitu tergila padanya; tak perlulah hidup yang sedang getir dinista dengan berlebihan ataupun disembah dengan keterlaluan karena sedang gurih sekali; tak usahlah menyenangi sesuatu dengan seakan hidup seribu tahun lagi ataupun membencinya seakan mati besok.

Ekuilibrium tak pernah melewatkan apa saja dan siapa saja. Ia pun tak pernah usai. Kecuali pada derajatnya yang telah meneng, menep, dan madep. Itu pun dalam usaian yang tak terkatakan.

Meneng adalah fase termula dari proses menyetimbangnya dinamika-dinamika. Tidak ada kebenaran pemaknaan kalah di dalamnya. Meneng, diam, setamsil dengan umpama kau melihat buah durian yang wangi dan ranum, lalu kau komentari ia begini dan begitu, persepsikan dan postulasikan, lalu kau belah ia dan ambil sebiji buahnya yang gemuk, dan lesapkan ke dalam mulut.

Ada sesap-sesap cita rasa yang menyeruak ke pori-pori lidah, mengalir ke seluruh urat saraf, menjelma suatu citraan yang tak berani kau titipkan pada kata-kata untuk menggambarkannya.

Kau diam. Diam saja. Kau bakal mampu menikmati sesapan rasanya yang luar biasa. Maka, katakan saja, tidak ada keagungan rasa durian bagi mulut yang terus berbicara.

Diam tak ada hubungannya dengan kekalahan. Sebagaimana kesemenjanaan tak ada korelasinya untuk diterjemahkan kelambanan dan kelambatan. Apalagi ketidaktahuan dan kekonyolan. Tidak. Meneng adalah muasal berpijarnya sesap-sesap rasa, pikiran, perasaan, angan-angan, cita-cita, denyut napas, hingga harapan.

 Diam adalah justru kemenangan yang tak merindukan kelantangan-kelantangan; menang terhadap terayakannya karunia kemanusiaan kita.

Ketika meneng semakin menyetimbang, terbitlah menep di dalam diri. Ia berwajah pengertian, penerimaan, kerelaan, keikhlasan.

Menerima dinamika-dinamika sebagai keniscayaan yang terberi. Menerima yang diidealkan dan ternyatakan sebagai suatu perjalanan hidup yang biasa saja. Betul, biasa saja. Luka adalah biasa. Air mata adalah niscaya. Tawa adalah karunia. Semringah adalah pemberian. Saling silih, saling pilin, saling beri dan ambil. Saling datang dan pergi. Saling siang, saling malam.

Dalam kesalingan yang niscaya demikian alirannya, tiada lagi guna drama-drama dan dera-dera yang menyiksa.

Bila fase ekuilibrium menep ini beranjak lagi ke madep, wajahnya hanya akan memiliki dua warna: kemanusiaan dan keilahian.

Seseorang yang berkata “tidak” kepada kita tatkala kita mendambakan “iya” darinya, ia adalah manusia yang setara cita rasa kemanusiaannya dengan kita. “Tidak”-nya ia dan “iya”-nya kita memiliki bingkai agung yang sama bernama kemanusiaan. Ia bernapas, kita pun serupa. Ia punya hati, kita pun tentu saja.

Cita rasa wajah kemanusiaan yang serupa ini bagaimana bisa ditabrak-tabrakkan hanya karena “tidak” dan “iya” secara lahiriah memiliki makna yang tak sejalan padahal hakikat pelakon jalannya adalah sama?

Dalam wajah keilahian, madep menisbatkan energi yang lebih mengakar lagi. Ia melampaui profanitas kesama-manusianya, melesat terbingkai oleh sakralitas Uluhiyah yang Maha Pemberi. Di saat Ia berikan “tidak” padanya dan “iya” pada kita di titik dan detik yang sama, hingga buhullah perbedaan, itu semua adalah sama dariNya, semua adalah pemberianNya.

Dia dan kita yang madep penuh betapa semua orang merujuk pada Satu Titik, lalu dariNya suatu hal boleh jadi membelah dalam dua wujud atau lebih, merujukkan kembali padaNya sebagai muasal segala apa, merupakan fondasi bercahayanya pengertian-pengertian. Segala berporos padaNya, segala adalah pemberianNya, segala adalah bentuk terbaikNya, segala pun kembali padaNya, tanpa kecuali, maka masih adakah dalih untuk terus merayakan tidak mengerti dan tidak rela? Bagaimana bisa cahaya matahari hendak diajari menyinari oleh cahaya lilin?

Bakunin, sang guru para anarko, beriring dengan siapa pun yang paling gahar bereksistensialisme, tak bakal pernah membuat bebek-bebek tidak sudi berenang. Apalagi lalu menolak terjun ke sungai karena ingin menjadi presiden yang dikawal patwal panjang di jalan raya yang mentereng.

Maka, tak usah memaksa bebek berenang. Mari saksikan saja proses mekanisme ekuilibriumnya dengan hati bersahaja.

Edi AH Iyubenu

Comments

  1. Anonymous Reply

    Lentera

  2. Aghnia.Ilma Reply

    “Cahaya”

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!