Ia mengaku ditaruh Tuhan di Jawa. Ia bernama Petrus Josephus Zoetmulder, dilahirkan di Utrecht, Belanda, 29 Januari 1906. Namanya mengharum di studi sejarah kesusastraan Jawa Kuna.
Zoetmulder telah mengabdikan diri di penelitian-penelitian sastra Jawa, sejak di Belanda dan bermukim di Jawa. Ia mengaku ditakdirkan mempelajari sastra Jawa. Pada masa awal menekuni studi sastra Jawa, ia kadang menggunakan nama samaran: Artati dan Resi Ciptoning. Pergi meninggalkan Belanda, ia mengikuti “perintah” Tuhan menuju Jawa.
Selama puluhan tahun, Zoetmulder tinggal di Jogjakarta. Hari demi hari berganti. Beliau hidup di perpustakaan berisi ribuan buku tua. Buku-buku mengandung cerita-cerita dari masa silam. Bernapas bersama buku-buku tebal dan tua merangsang pengembaraan jauh ke masa silam. Pengembaraan menjadi sajian buku-buku dengan panggilan-panggilan ketakjuban. Detik demi detik bergerak, Zoetmulder membaca halaman demi halaman buku bercap buku ilmiah, novel, dan puisi. Di kamar, Zoetmulder menaruh seribu novel cerita detektif (Tempo, 20 Juni 1992). Kita mengandaikan novel-novel itu “membentuk” etos keintelektualan sebagai “detektif bahasa” dan “detektif sastra”. Ia wajib menuntaskan pelbagai studi mengikuti tata cara berpikir-imajinasi detektif. Ia paling suka membaca novel-novel detektif gubahan Ngayo Marsh.
Di hari-hari terjalani dengan dakwah dan studi, Zoetmulder memiliki jeda dengan bermain biola. Merokok pun jadi penentu lakon di keseharian. Sejak remaja sampai menua, ia merokok. Zoetmulder mengaku emoh menuruti larangan dokter. Larangan merokok bakal membikin stres. Ia merokok dan menebar asap-asap keaksaraan. Di mata dokter dan orang lain, kebiasaan merokok itu mungkin teranggap merugikan. Bagi pelaksana “takdir”, merokok bukan aib atau kesalahan tanpa ampunan.
Berpikir dan berimajinasi sebagai “detektif” menghasilkan studi-studi berat mengenai Jawa. Kita digoda agar menikmati Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983) dan Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa (1990) garapan Zoetmulder. Dua buku serius bergelimang hikmah. Zoetmulder mempelajari dan menulis Jawa dengan bahagia. Beliau pun mengaku: “Tuhan menghendaki saya bahagia di Jawa.” Keinginan mengejutkan: “… kalau Tuhan mencabut nyawa saya, saya ingin itu terjadi di Jawa.” Pembaca dan penulis Jawa itu ingin berbaring abadi dalam buaian tanah di Jawa. Bermula dari kegandrungan pada epos-epos Jawa, Zoetmulder membaktikan diri demi mengisahkan Jawa: bergerak dari masa silam ke masa sekarang. Pelbagai misi dan risiko ditanggung secara ikhlas.
Zoetmulder girang dan betah tinggal di Jogjakarta. Hari demi hari terasa indah dan mewangi di kerutinan berdakwah dan penelitian. Ia sering bersepeda ke desa-desa dalam memenuhi tugas mengajarkan agama. Konon, selama bersepeda ia mendapatkan kelimpahan keindahan atas alam desa. “Biasanya ia memberi pelajaran agama di tempat terbuka atau di bawah pohon. Zoetmulder duduk di atas tikar, sementara penduduk desa mengelilinginya. Di sini pula terjadi proses saling memberi dan menerima. Zoetmulder memberikan pelajaran agama, sedangkan penduduk desa mengajarkan tembang-tembang,” tulis di majalah Matra edisi September 1995. Masa-masa awal di Jogjakarta itu berketerusan dengan menjadi tokoh berpengaruh dalam agama dan intelektualitas. Pembuktian bersejarah adalah menerbitkan majalah Basis, 15 Agustus 1951. Majalah itu didirikan bersama Romo Djojoseputro SJ, Romo Sukarto SJ, L Subiyat, dan R Soekadija. Majalah Basis masih terus terbit sampai sekarang.
Predikat sebagai pengajar di UGM mengantar kaum intelektual Indonesia bergairah menempuh jalan keilmuan. Para sahabat, murid, dan pengagum menganggap Zoetmulder adalah guru tiada tara. Penguasaan atas bahasa dan sastra Jawa sampai mumpuni, sulit disangkal atau disaingi. Beliau dijuluki sebagai “Sapta Resi”. Pada 1986, Zoetmulder berusia 80 tahun. Para murid bermufakat mempersembahkan tulisan-tulisan untuk dibukukan sebagai penghormatan. Buku itu berhasil terbit pada tahun 1991, berjudul Bahasa, Sastra, Budaya: Ratna Manikam Untaian Persembahan kepada Prof Dr PJ Zoetmulder dengan editor Sulastin Sutrisno, Darusuprapta, dan Sudaryanto. Buku persembahan mengingatkan pengembaraan pengetahuan para sahabat dan murid saat bersua Zoetmulder. Kita menganggap buku itu menempatkan Zoetmulder sebagai guru mulia.
Ketekunan dan ketuaan terbukti dengan kesanggupan mengerjakan kamus tebal. Pada 1950, ia sudah memulai menggarap kamus bahasa Jawa Kuna. Semula, Zoetmulder mengira cuma memerlukan 10 tahun untuk selesai. Perkiraan itu salah! Tahun demi tahun, Zoetmulder di pelbagai tempat membaca naskah-naskah Jawa Kuna demi merampungkan pembuatan kamus. Kerja serius itu tercatat selesai di hitungan 30 tahun. Lama! Di sela pengerjaan kamus, ia menulis Kalangwan. Selesai selama empat tahun (Tempo, 20 Juni 1992). Kita memastikan biografi Zoetmulder memang keaksaraan: mendatangkan masa lalu agar terus terbaca meski sulit.
Pembaca di Indonesia menerima kitab besar itu berjudul Kamus Jawa Kuna-Indonesia (1995). Zoetmulder dibantu oleh SO Robson. Penerbitan dalam edisi bahasa Indonesia itu semakin memastikan ada pemaknaan takdir di biografi intelektual Zoetmulder. Di pengantar, kita simak penjelasan Zoetmulder: “Pada waktu itu saya tidak mengira bahwa pekerjaan ini akan memakan waktu 30 tahun untuk menyelesaikannya–yang mungkin justru lebih baik demikian. Saya kemudian tahu, karena kurangnya sarjana yang ikut serta dalam lapangan ini, pekerjaan ini harus dijalankan seorang diri. Situasi tempat dan waktunya jauh dari menyenangkan.” Pengakuan bertahun 1982 itu mengandung sedih. Selama di Jogjakarta, penggarapan kamus dibantu oleh S Kibat Natawihardja. Kamus berhasil terbit tapi Kibat berpamit duluan menghadap Tuhan, 1981.
Warisan-warisan berupa buku-buku garapan Zoetmulder memberi pengaruh besar bagi kajian sastra Jawa. Simuh menulis resensi untuk buku berjudul Manunggaling Kawula-Gusti. Resensi dimuat di Tempo, 29 September 1990. Disertasi mengenai suluk itu mendapat pujian. Dulu, edisi awal terbit 1935. Kita membaca edisi bahasa Indonesia pada 1990. Pemuatan resensi itu dibarengi tulisan ketokohan Zoetmulder dijuduli “Tuhan Menaruh Saya di Jawa.” Pemenuhan takdir mempelajari dan menerbitkan sekian hasil studi sastra Jawa kadang memberi kerepotan atau kesulitan. Buku-buku Zoetmulder penting dan klasik “namun pembacanya terbatas pada kalangan yang mengerti atau tertarik sastra Jawa Kuna”.
Pada 8 Juli 1995, Zoetmulder memenuhi panggilan Tuhan. Hidup telah selesai tapi warisan-warisan literasi menjadikan Zoetmulder “hidup” bersama waktu-waktu bergerak. Selama puluhan tahun, koleksi buku Zoetmulder berdiam di lemari-lemari. Buku berkemungkinan jadi santapan hewan-hewan penghancur kertas. Ikhtiar mewarisi dan merawat dikerjakan oleh Universitas Sanata Dharma (Jogjakarta), dimulai sejak 2005. Tim menggarap buku berjudul Karas: Jejak-Jejak Perjalanan Keilmiahan Zoetmulder (2007). Publikasi buku itu diharapkan terbaca sebagai “drama perjalanan keilmuan Zoetmulder.” Koleksi buku-buku tua memikat Zoetmulder menguak gelap dan misteri dalam studi Jawa Kuna. Buku-buku menjadi referensi pengerjaan kamus, disertasi, dan buku kuliah kebahasaan.
Buku-buku garapan Zoetmulder dipersembahkan bagi Indonesia dan dunia. Buku-buku itu bukti kemuliaan Jawa dan Indonesia sebagai negeri aksara dan cerita. Zoetmulder (1973) menjelaskan bahwa sebagian besar sastra Jawa Kuna berhasil diselamatkan dalam perjalanan dari abad ke abad. Khazanah sastra itu masih ada, hadir sebagai dokumen masa silam berkemungkinan awet ketimbang “monumen batu”. Buku sebagai “monumen bahasa” mengajari kita kegemilangan pengetahuan di Jawa pada masa silam. Kita mewarisi meski kesulitan membaca. Zoetmulder menugaskan diri sebagai pengantar dan penjelas tentang bahasa dan sastra Jawa Kuna melalui perkuliahan dan penerbitan buku-buku. Kita diajak membuka tabir-tabir masa silam dan menikmati petuah-petuah religius dan filosofis dalam pelbagai teks sastra Jawa Kuna.
Sang tokoh sudah tiada tapi “memanggil” kita agar memenuhi kewajiban-kewajiban memuliakan bangsa berpijak bahasa dan sastra. Zoetmulder berjalan dan sampai. Kita mungkin masih enggan mengikuti atau berkeinginan sampai. Kita meninggalkan jauh masa silam tanpa sesalan saat tak memiliki peta atau pembawa suluh. Barangkali kita bakal tersesat jika tak lagi “berziarah” ke sastra masa silam dan mengucap Zoetmulder sebagai “empu” atau “imam” kesusastraan Jawa. Kita berhak meniatkan diri sebagai ahli waris sah, sebelum sejarah sekarat tanpa pembaca dan pengisah. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022