Tamasya yang Dingin

pixabay.com

Petang ketika tubuhnya dilempar dari bagasi mobil dan meluncur ke kedalaman jurang, lalu diterima dengan tangan terbuka oleh sang sungai, langit sedang menurunkan hujan. Malam jatuh dengan tergesa. Dan udara menjadi lebih dingin. Dingin sekali.

Ia terbangun dalam keadaan basah kuyup dan ia merasakan dirinya masih sangat hidup. Namun entah mengapa, ia tak kuasa menggerakkan anggota tubuhnya ataupun sekadar bersuara. Tubuhnya telah didekap erat oleh sang sungai. Wajahnya tercelup ke dingin air, berjam-jam, dan ia tidak mati. Ia masih bisa bernapas normal, meski ia tak melihat gelembung udara keluar dari jalan napasnya. Arus menggulingkan tubuhnya, menelentangkan, menengkurapkan, menelimpuhkan, menjungkir-balikkan, membentur-benturkannya ke kaki tebing, ke batu-batu besar. Namun, ia tak merasakan sakit. Sama sekali. Ia hanya merasa sangat dingin. Dingin sekali.

Sekujur tubuhnya basah. Sangat basah. Seolah ia sungai itu sendiri, atau arus itu sendiri. Setelah berguling-guling tak berdaya selama beberapa jam oleh arus deras, tubuhnya dihadang batu besar sekali lagi. Batu besar yang menonjol ke muka air. Batu itu menahan tubuhnya untuk mampir.

“Singgahlah barang sebentar,” suara itu dingin, dan bagai racauan. Ia kurang yakin, apakah batu itu yang mengeluarkan suara. Tapi di sini tak ada siapa-siapa selain dirinya.

Tubuhnya miring, satu matanya bisa melirik ketinggian langit, dan  satu matanya yang lain bisa melirik kerikil-kerikil yang berjalan gegas di dasar sungai, diseret arus. Ia sendiri heran, mengapa ia bisa meihat dengan jelas dan detail dalam keadaan gelap begini.

Aku masih hidup, aku masih hidup. Sekali lagi, ia masih hidup. Namun, ia tak bisa menggerakkan tubuhnya. Seakan, tubuh itu tak menjadi miliknya lagi. Dalam dingin yang basah itu ia mulai menangis, lirih, lalu tersedu. Dan hal pertama yang ia ingat adalah boneka itu. Boneka yang ia beli untuk gadis kecilnya. Boneka itu kini sudah raib dari tangannya.

Malam semakin hening. Keheningan semakin dalam. Hujan sudah mulai reda. Dan langit hanya memamerkan warna hitam. Pohon-pohon di sisian sungai bergemerisik, bagai berbisik, mengomongkan dirinya. Tadi batu, dan sekarang pohon-pohon mulai berbisik. Ia masih tersedu, teringat gadis kecilnya yang tadi pagi minta dibelikan boneka baru. Sebab, boneka yang lama lehernya patah. Wajah istrinya masam mendengar ia berjanji pada gadis kecilnya, bahwa sore ini ia akan pulang dengan boneka baru. Istrinya tak suka ia memanjakan anak itu. Kepala boneka itu bisa dilem atau dijahit, kata istrinya. Tapi, menurutnya, boneka itu memang sudah waktunya ganti.

Siang ini, di sela pekerjaannya yang bagai tanpa rehat, ia sempat membelikan boneka baru untuk gadis kecilnya. Ia siap membawanya pulang, hingga jelang petang, seorang pelanggan—lelaki muda berperawakan tegap, memintanya mengantar ke suatu tempat yang lumayan jauh. Tentu itu tak masalah. Itu adalah pekerjaannya, mengantar seseorang yang ingin pergi ke suatu tempat, atau menjemput seseorang yang ingin pulang dari suatu tempat. Jarak tak pernah menjadi masalah.

Di bawah gerimis, di tengah perjalanan yang sepi, lelaki yang diboncengnya itu minta berhenti. Tapi kita belum sampai, katanya. Kita sudah sampai, kata lelaki itu. Rasanya tak ada gerakan lain yang bisa lebih cepat lagi. Lelaki itu meraih lehernya dan menancapkan pisau ke tubuhnya. Beberapa kali. Tak berselang lama, sebuah mobil datang. Dan tubuhnya dimasukkan dalam bagasi. Sementara motornya ditinggal begitu saja di tepi jalan. Di salah satu setang motor itulah boneka baru itu tergelantung, dalam tas plastik putih bertuliskan nama toko mainan. Ya. Ia mengingatnya.

Lalu apa yang sebenarnya yang terjadi pada dirinya? Apakah seseorang telah membunuhnya? Apakah ia sudah mati? Tentu aku masih hidup. Tentu ia masih hidup. Sebab, ia bisa mengingat semuanya dan merasakan hawa dingin yang merasuk ke tulang belulang. Ia terus menangis, ingin segera pulang menemui anak dan istrinya, meminta maaf karena mungkin ia pulang terlambat, karena boneka baru yang ia beli hilang di tengah jalan. Ia membayangkan dirinya bangkit, merangkak di atas batu besar, memanjati tebing yang tak terlalu curam, lalu sampai di jalan besar, sebelum akhirnya pulang dengan berjalan kaki. Tapi sungguh, sekeras apa pun usahanya untuk bangkit dari hadangan batu dan arus itu, hanya ada geming. Tak satu pun anggota tubuhnya bergerak. Sampai-sampai, ia jadi sangat mengantuk.  Malam pertama di tubuh sungai itu ia habiskan dalam sandaran sebuah batu besar yang banyak tidur sambil mendengkur.

Pagi harinya, ia mendapati tubuhnya masih utuh, tersampir di tubuh batu yang sama. Sampah dan daun-daun telah mendatangi tubuhnya. Tersampir. Menutupi beberapa bagian tubuhnya. Menempel di wajah, baju, serta celana yang terus-terusan berkecipak oleh arus deras di sisian batu. Dari hulu, ia melihat daun dan ranting-ranting berdatangan. Seperti kafilah yang sedang dalam perjalanan. Menyapanya sekilas, lalu pergi mendahuluinya, menuju  muara.

Ia memandangi langit yang cerah, matahari yang bersinar keperak-perakan. Pohon-pohon dengan daun hijau kekuning-kuningan. Dari hulu, ia melihat bongkahan kayu mendekat, menghantam tubuhnya, menariknya dari jeratan batu besar. Arus deras kembali membawanya. Ia mengapung bersama bongkah kayu itu. Ia mengucapkan terima kasih, dan bertanya, bagaimana perjalanannya hingga sampai ke sungai ini. Dan bongkah kayu itu menjawab, ia ditebang puluhan tahun silam, ditumpuk di tengah hutan, kesepian dan berlumut. Beberapa pencari kayu enggan membawanya sebab tubuhnya teralu besar. Ia bilang, tubuhnya telah dikapak menjadi lima bagian, dan ia masih terlalu besar. Para pencari kayu bakar membawa sempalan-sempalan kecil dari tubuhnya, dan lalu melupakannya, sebab pohon-pohon lain masih begitu banyak yang bisa ditebang. Tubuhnya dimakan waktu dan lumut dan rayap hutan. Berbilang tahun. Tubuhnya kian lapuk dan menipis. Lalu longsor datang beberapa hari silam dan mengenalkannya pada sang sungai—yang kini membawanya pada perjalanan jauh.

Semula ia heran, mengapa ia berkata-kata pada sebongkah kayu, dan mengapa pula sebongkah kayu bisa bercerita dan menjawab sebuah pertanyaan Hingga ia sadar, bahwa sebelumnya ia juga mendengar pohon-pohon berbisik dan juga batu-batu yang tidur mendengkur. Serta pandangan mata yang bisa menerobos gelap.

Tubuhnya kini terlentang menghadap langit. Mengapung perlahan di arus tenang. Bagai rebahan di atas tilam. Ia melihat keindahan itu, matahari yang tertawa riang dengan siluet berkejaran di antara pucuk-pucuk pohon. Burung-burung yang memelototinya dari dahan-dahan. Seekor anak ular yang berenang ke tepian. Serta suara ribut ikan-ikan di kedalaman air. Melihat dan mendengar semua itu, membuatnya merasa jatuh dalam mimpi tetang tamasya yang panjang. Ia bisa sedikit tersenyum, sebelum bayang-bayang wajah gadis kecilnya kembali ke pelupuk mata. Suara istrinya mengiang bergantian dengan suara gemericik air.

Sayup-sayup, ia mendengar suara orang-orang bercanda, mengobrolkan entah apa. Setelah berjam-jam dalam keheningan tanpa aroma manusia, suara-suara itu membuatnya girang, ia ingin berteriak meminta tolong. Tapi ia tak bisa mendengar suaranya sendiri. Sebab mulutnya memang tak bergerak. Ia tak merasakan lidahnya bergerak. Ia hanya merasakan mulutnya menganga dan dipenuhi air serta remah-remah daun. Sementara arus terus membawa tubuhnya, hingga sayup-sayup suara itu menghilang. Kembali hening. Hanya gemericik air dan suara serangga. Dari tempatnya rebah dan mengambang, ia mulai melihat rumah-rumah dengan cat beraneka warna. Rongga-rongga jembatan yang dipenuhi kelelawar. Serta pipa-pipa yang terjulur di tepian, memuntahkan limbah kotoran manusia.

Dari kejauhan kembali muncul sayup suara. Balita menangis. Penjual bakso keliling. Seekor anjing menggonggong. Suara klakson. Di tepian, di atas sebongkah batu, ia melihat orang buang berak dengan pantat terbuka. Tapi orang itu tak melihatnya. Ia melihat seseorang menumpahkan gunungan sampah. Tapi orang itu tak menyadari keberadaannya. Ia melihat beberapa anak kecil mendorong-dorong bangkai ayam dengan galah sambil bersorak. Bocah-bocah itu tak memperhatikannya. Ia diam saja. Sebab cuma itu yang bisa dilakukannya. Ia telah pasrah arus itu hendak membawanya ke mana.

Malam kembali jatuh. Dan udara kembali menjadi dingin. Lebih dingin. Ia masih mengambang perlahan di arus tenang. Melewati desa-desa yang lengang. Ia menyaksikan semuanya. Lampu-lampu jalan yang berkedip penuh kemurungan. Pagar-pagar jembatan yang usang. Serta sampah yang terus ditumpahkan tanpa kenal waktu. Di tengah malam begini, ia membayangkan istrinya tertidur memeluk gadis kecilnya. Tidur yang mungkin tak pernah lelap. Memikirkan itu dalam keheningan dan udara dingin begini, membuatnya ingin terus menangis. Tanpa henti. Ia berharap, pagi lekas datang. Sebab, dalam terang dan keramaian, segalanya menjadi lebih mudah untuk dilewati. Ia ingin memejamkan mata. Meski matanya terus mendelik dan tak pernah bisa berkedip sejak pertama kali ia mendapati tubuhnya dipeluk sang sungai.

Hari ketiga datang, dan ia masih mendapati tubuhnya mengambang dan semakin mengembung. Juga semakin bau. Ia mulai didera kebosanan. Ia tak ingin menyaksikan apa pun atau memikirkan apa pun. Ia hanya ingin tertidur. Sampai sebuah keajaiban datang dan membawanya ke muka anak-istri. Untuk ke sekian kalinya, ia mendengar sayup suara orang mengobrol. Semakin dekat. Ia tak ingin menanggapi. Tapi orang-orang itu terlalu berisik. Dan di depan sana, di atas tanggul, ia bisa melihat tiga orang laki-laki duduk bersisian, masing-masing memegang tongkat pancing sambil merokok. Harapan yang patah itu tersambung kembali. Membuat jantungnya bagai berdebar.

Ia sadar, salah satu dari tiga orang itu tengah mengawasinya secara saksama. Ia mengapung semakin dekat. Ia berusaha tersenyum melihat orang itu menyambutnya. Sampai pekikan keras itu muncul, “Ada mayat! Ada mayat!”***

Malang, 2018

Mashdar Zainal
Latest posts by Mashdar Zainal (see all)

Comments

  1. Anonymous Reply

    nice !!!

  2. Anonymous Reply

    Keren ^^

    • Anonymous Reply

      Keren, semoga makin berkah ilmunya…

  3. Ana Lydia Reply

    Keren dan suka. ❤❤

    • Anonymous Reply

      Sedihlah 😢

  4. Fiya Reply

    Ceritanya 😭

  5. Anonymous Reply

    👍👍👍

  6. Aya Reply

    Keren, yaampun! Nice! 👍👍

  7. Anonymous Reply

    Ceritanya menyedihkan, tapi keren.

  8. okky Reply

    kenapa sedih bacanya, hiks.. keren

  9. yunita karang Reply

    so nice

  10. Tomo Reply

    Menikmati setiap alur ceritanya. Keren

  11. Triz Hestorinia Reply

    Suka banget sama ceritanya. 👍👏

  12. Anonymous Reply

    keren, suka banget ceritanya.

  13. Firman Reply

    👏👏👏

  14. Initial A Reply

    Hmm… Mungkin terinspirasi dari cerpennya mas raga “sepanjang aliran sungai” koran Tempo 13 Mei 2012.

Leave a Reply to Anonymous Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!